Chapter 1: Berandai

1.8K 168 2
                                    

Pernah mendengar istilah tentang, orang jahat terlahir dari orang baik yang penah tersakiti? Umm, aku tidak menyangkal itu. Tetapi itu benar adanya.

Sebelumnya aku adalah anak yang baik, dan selalu diam saat di bentak, bahkan sudah terlalu sering di bentak membuatku menjadi pribadi yang keras, dan tidak mudah tersinggung dan mengeluarkan air mata. Tetapi who knows? Tidak ada yang bisa menebak bagaimana hati seseorang, yang kelihatan baik di luar tetapi sangat rapuh di dalam.

"Jangan nakal, baik-baik sama tante kamu. Belajar terus biar jadi anak pintar."

Ya, selalu saja berkata seperti itu. Ibu, selalu mencoba menjadikan anaknya yang terbaik, meskipun aku tidak terlalu memperhatikan petuah-petuah yang di sampaikan oleh beliau, aku sangat malas. Bisakah ia berhenti bicara seperti itu terus menerus, dan menanyakan kabarku dengan baik di sini.

Aku bukan anak yang terpandang yang memiliki banyak uang, Oh. Aku tidak sesempurna itu, aku hanya anak Desa yang mempunyai kelebihan pada wajah cantikku yang selalu di puja-puji orang-orang. Ya, setidaknya itulah yang aku dapat simpulkan dari setiap orang di dekat rumah, orang yang baru mengenalku atau para teman-temanku di sekolah, meski aku berfikir aku tidak cantik dan masih banyak teman sekelasku yang lebih cantik dan memiliki tubuh bagus di kelas.

"Ma, aku tutup ya. Guru yang mengajar sudah masuk." kataku, saat terdengar deheman singkat pertanda 'iya' dan mengucapkan salam perpisahan, ya. Hanya itu setiap yang terjadi saat sambungan telepon itu terjalin.

Sambungan terputus tepat di menit ke sebelas, lewat tiga puluh empat detik. Sangat singkat, mengingat Mama menelepon di saat jam istirahat berjalan, bahkan aku sempat lupa untuk mengisi perut yang mulai merasa kelaparan, demi mengangkat telepon yang sangat ku rindukan, ah. Aku sangat merindukan mereka.

Namun yang hanya aku dengar, semua tentang masalah keluhan tentang ekonomi yang semakin sulit, dan berberapa hutang di Desa yang belum sempat terbayar di karenakan seringnya membayar uang bulananku untuk tetap lanjut sekolah.

"Yerin-ah, mau ke kantin bersama?." tanya Hwang Eun Bi selaku teman yang berada di depan bangku milikku, sekali lagi aku hanya perlu menahan rasa lapar. Dan mencoba tersenyum tulus. "Aku tidak nafsu makan, kau duluan saja."

Eun Bi hanya mengganguk, kemudian bangkit dari duduk dan berjalan lebih dulu meninggalkan kelas.

Aku kembali tersenyum kecut, kala mengingat adanya kerja kelompok yang membutuhkan biaya perorang untuk setiap anggota, untuk membeli barang-barang yang di perlukan saat praktik lusa nanti, aku harus menghemat dan mengesampingkan rasa lapar yang teramat minta di isi.

Andai saja, aku menjadi orang sukses di masa nanti.

Membanyangkan senyuman mereka ---- Orang tua Yerin --- saja sudah membuatku merasakan lebih baik, aku tidak sabar menunggu kapan masa itu datang, masa di mana Mama dan Papa akan melihat ke arahku, dan tersenyum bangga kepadaku saat aku telah mencapai apa yang mereka inginkan.

Semoga saja

[ ]

Save Me [ Taerin ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang