Aku merasakan bulu kudukku meremang hebat, saat melihat rumah bercat putih biasanya ramai, sekarang nampak tidak berpenghuni.
Sudah berberapa kali aku mengetuk, namun tidak kunjung mendapatkan jawaban. Kemana perginya mereka?
Setelah pulang sekolah, aku memutuskan untuk mengunjungi Eun Bi. Ini sudah sore sebenarnya, dan aku memilih untuk berkunjung sebentar. Dan pada pukul lima sore tepat, aku harus kembali ke rumah jika tidak ingin ketinggalan bus terakhir.
Baru saja aku ingin mengetuk kembali, jendela terbuka. Menampilkan sosok Eun Bi yang kusut, matanya memerah dan bengkak.
"Kenapa kau kesini?" tanyanya dingin, membuatku hanya tersenyum kikuk. "Mengunjungimu, apa lagi?"
Nampak gadis itu menghela pelan, kemudian kembali masuk ke dalam rumah, aku mendengar suara kunci di putar dari dalam. Eun Bi membuka pintu, dan segera menyuruhku masuk.
"Kau habis menangis?" tanyaku pelan, tepat setelah menduduki dirinya di kursi ruang tamu. Eun Bi melirik ke arahku, kemudian menguap panjang. "Ya, semalam. Aku baru bangun sore ini, tepat setelah kau mengetuk pintu rumahku."
"Tidur dari semalam? Dan baru bangun di sore hari?" tanyaku tidak percaya, membuat Eun Bi hanya mengulas senyum miring. Aku tidak mengerti, kenapa gadis itu mengeluarkan senyum berbentuk seringaian seperti itu. Atau, ada sesuatu yang buruk yang ia lakukan semalam hingga baru terbangun sore ini.
Aku tidak menemukan siapapun di sini, mungkin Ibu Eun Bi sedang berkerja, dan baru pulang akhir pekan. Mataku menelisik seluruah ruangan, menemukan kamar milik Eun Bi yang sangat aku hafal letaknya, sangat berantakan. Dengan selimut yang telah jatuh di lantai, dan berberapa butir benda berbentuk bulat, berwarna putih. Kecil. Jika mataku tidak salah mengoreksi, apa itu obat?
Rupanya Eun Bi sedang melirik ke arahku, "itu obat tidur." katanya berucap santai, benar. Eun Bi tidak pernah berkata bohong, sekalipun padaku. Dia sosok yang jujur, walau perkataannya terlampau pedas di dengar.
"Jadi itu sebabmu baru bangun sore ini?" tanyaku pelan, membuat Eun Bi mengganguk. Kemudian menyulut pematik, entah sejak kapan satu batang rokok telah bertengger di hapit bibir tipisnya.
Aku bisa saja menyingkirkan itu, namun aku hanya bisa diam. Membiarkan, Eun Bi terngelam dengan perasaanya. Aku sangat tau, wanita ini butuh pelampiaskan. Bukan bermaksut tidak perduli, hanya saja aku membiarkannya untuk sekarang, satu batang rokok tidak akan membunuh bukan?
"Ngomong-ngomong, soal kau di tuduh tentang di jebak. Saat menemukan bungkus rokok di tas mu itu..." Eun Bi menggantung perkataanya, kemudian menjentikan jemarinya untuk membuang abu di ujung rokok. Aku meliriknya, entah kenapa perasaanku sangat tidak baik untuk sekarang. "Aku yang melakukannya, maafkan aku. Saat itu aku seolah tidak perduli, dan menjauhimu. Jujur saja, aku takut mengakuinya. Jika aku yang bersalah, aku takut di benci terlebih olehmu Yerin-ah. Aku sungguh menyesal."
Eun Bi menunduk, sama halnya denganku yang tidak percaya akan semua ini. "Jadi, yang meletakan bungkus rokok di tasmu?"
"Aku tidak tau, yang pasti. Aku juga merasakan apa yang kau rasakan sekarang, aku mendapatkan balasanku dari oranglain. Ini karma." Eun Bi tersenyum sendu, kemudian melirik ke arah Yerin. "Ibu dan Ayah tiriku, benar-benar melancarkan hukumanya. Aku sangat tersiksa, dan depresi."
Aku tidak melakukan apapun, jujur saja aku kecewa, kenapa Eun Bi bisa melakukan itu padaku. "Kenapa kau melakukan hal itu padaku? Bukankah kita sahabat?."
"Aku tidak bermaksut apa-apa, sumpah. Itu karena, saat itu aku sengaja membeli sebungkus rokok untuk di bawa kerumah, atau di hisap di warung bersama yang lainya. Tetapi, hari itu benar-benar sial. Karena ada razia dadakan. Aku terpaksa menaruh di dalam tasmu, karena kau tau sendiri kau anak kepercayaan sekolah."
Perkataan Eun Bi membuatku mendesah frustasi. "Tapi kau tidak memikirkan keadaanku, bagaimana keluargaku mengataiku dengan perkataan kotor, dan menjijikan. Belum lagi teman kelas bahkan satu sekolah yang telah menuduhku yang tidak-tidak. Kau berkata maaf memang mudah, tetapi untuk memaafkanmu. Maaf, aku tidak sebaik itu. Untuk memaafkanmu dengan mudah, sekalipun kita pernah dekat bahkan sangat dekat sebelumnya, aku di khianati. Aku kecewa."
Eun Bi hanya diam, dia mematikan bara api. Kemudian menatapku penuh. "A-aku, memang salah. Dan tidak pantas untuk di maafkan. Tapi, bisakah kau tetap di sini di sampingku. Aku tidak memiliki siapapun."
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. "Tidak, setidaknya sebelum kau mencoba. Aku tidak akan berada di sampingmu, aku juga ingin kau mendapat pelajaran dan balasan. Anggap saja itu hukumanmu dariku."
"T-tapi Yerin."
"Apa?"
"Kita tetap sahabat bukan?"
Perkataan Eun Bi membuatku ragu, pelan-pelan aku menghembuskan nafas dan berdiri dari kursi. "Kau membuatku ragu untuk di jadikan sahabat kembali, bisa saja kau melukaiku lebih dari ini. Kau tau, manusia kadang tidak tahu diri, setelah di kasih hati. Tetapi meminta jantung."
Aku tidak mengatakan apapun, selain bangkit dari duduk, dan menyampirkan tasku kembali. Dan berjalan meninggalkan dimana Atensi Eun Bi yang diam menatap tubuhku, aku sebenarnya kasihan tetapi aku sangat kecewa untuk sekarang.
Orang terdekatmu, terkadang orang yang akan menusukmu dan membunuhmu perlahan dalam diam.
[ ]
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Me [ Taerin ] ✓
Short Storyaku tidak mengisahkan banyaknya kisah cinta yang bertebaran di kalangan remaja saat ini, tidak. Ini tentang masalah bagaimana menerima diri sendiri, dan menyakini jika kita harus mencintai diri sendiri ketimbang orang lain. Bukan terkesan tidak perd...