43. Ketulusan

2K 85 5
                                    

Arlando menatap tubuh kecil yang sudah ditempeli banyak selang itu dari kaca pembatas. Deisya, gadis yang dicintainya sedang kritis. Tidak tahu kapan akan siuman. Yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah berdoa dan berharap doa itu terkabul. Doa yang menginginkan gadisnya cepat siuman. Doa agar sakit gadis itu hilang. Doa agar gadis itu dapat kembali bisa berjalan. Ya, Deisya di opname tidak bisa berjalan lagi. Sesuatu yang sangat memukul keluarga, teman serta Arlando sendiri. Dia ingat bagaimana suara pilu Bunda, Nayla dan Keyla saat berita itu disampaikan. Bahkan Ayah dan Zico ikut menitikkan air mata, walaupun tidak sehisteris para wanita. Memang, perasaan wanita begitu dalam, begitu lemah, begitu kuat dan begitu sempurna. Bodoh rasanya ada lelaki yang amat sangat berani menyakiti perasaan itu. Dan salah satunya Arlando. Dia mengutuk dirinya sendiri mengingat betapa dia sudah menghancurkan perasaan gadis yang dicintainya. Dia sangat menyesal. Berharap waktu bisa terulang agar perasaan tulus gadisnya tidak dikhianatinya. Tidak dihancurkannya. Tidak disakitinya. Betapa bodohnya diri lelaki ini.

Arlando tersenyum sedih. Mengingat itu membuat penyesalan terbesarnya memuncak. Tidak ada yang bisa dia lakukan lagi saat ini. Hanya doa pegangannya. Hanya doa panutannya. Bahkan, air bening emosinya tidak akan mengubah segalanya. Tidak bisa mengembalikan semua seperti semula. Bahkan raungan penyesalan juga tidak bisa membawa kesadaran gadis itu. Semua sudah berakhir bagi Arlando. Tidak ada lagi kesempatan. Tidak ada lagi apapun untuknya. "Arland, nak! Kamu pulang dan istirahat dulu, ya! Sudah seharian ini kamu berdiri disini, kamu juga butuh makan sama istirahat. Isi energimu untuk kembali menjaga Deisya, ya Nak!"

Suara lembut milik Bunda mengalihkan perhatiannya. Matanya berpindah, tampaklah seorang wanita yang biasanya cantik, sekarang menjadi kacau dengan mata bengkak dan hitam disekitar matanya. Seharusnya wanita di depannyalah yang menderita melihat kondisi gadis semata wayangnya terbaring tak sadarkan diri di dalam ruangan ICU. Tapi, kenapa dia yang merasa tersiksa. Bahkan pria yang selalu perkasa di depannya juga berubah lemah saat melihat kondisi Deisya. Memaksakan sebuah senyuman, Arlando pun mengangguk. Menyalami sang wanita serta pria tampan di samping si wanita, berpamitan untuk pulang.

"Yok! Biar gue anter lo pulang. Nggak yakin gue lo bakal selamat jika bawa mobil disaat kondisi lo kayak gini," Risky tiba-tiba sudah muncul dihadapannya. Sepertinya sahabatnya ini menunggu di ruang tunggu, mengkhawatirkan dirinya. Sungguh beruntung dia memiliki sahabat sepertinya. Arlando kembali mengangguk, tidak memiliki tenaga untuk mengeluarkan suara.

"Elzan sama Arsen di sekolah. Lagi meriksa cctv, mau nyari bukti kejahatan Erik. Semoga mereka berhasil, ya." Arlando menggeram, mendengar nama itu membuat emosinya kembali. Dia meletakkan harapan besar kepada Arsen dan Elzan yang sedang berjuang sekarang. Cowok itu yakin, mereka berdua itu akan segera menemukan banyak bukti agar Erik tidak bisa lagi mengelak di hadapan hukum.

"Kalo si Vannes. Dia menggantikan posisi lo untuk jaga Emi. Secara, bule itu masih memerlukan orang di sampingnya. Kenapa orang tuanya nggak perhatian banget ya sama si Emi, jadi kasihan gue," ujar Risky lagi. Cowok itu berusaha membuat Arlando berbicara, dan sepertinya berhasil.

"Kata Emi, orang tuanya mulai bosan ngurusin dia. Malahan pengobatan Emi sempat tidak ada selama dua tahun, untung Ommanya kekeh buat ngurusin pengobatan Emi. Walaupun kondisi Ommanya juga kurang sehat," jelas Arland sambil menundukkan kepala. Melihat lantai lift yang membawa mereka ke lantai dasar. Risky terkejut mendengar fakta itu, dia sedikit merasa bersalah pernah membenci Emi karena sudah merusak hubungan Arlando dan Deisya. Memang benar, segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan. Dan dia baru mengetahui hal itu beberapa detik yang lalu.

Ting!!!

Langkah mereka berlanjut keluar dari lift. Hilir mudik pasien, suster, penjenguk, dan dokter terlihat di rumah sakit ini. Pemandangan yang lumrah jika berada di rumah sakit. Langkah mereka sampai di parkiran, suara mobil yang sudah dibuka pun terdengar. Risky menduduki kursi pengemudi sedang Arlando menyandarkan punggung ke sandaran kursi penumpang. Terlihat jelas kelelahan dari wajah cowok itu. Bagaimana tidak, tidur tidak cukup makan tidak mau. Tidak lagi ada energi untuk tubuh besar itu. Risky menatap kasihan Arlando yang mulai menutup matanya. Berharap, sahabatnya ini mulai tersenyum kembali.

~~~

Emi tidak pernah merasakan sesak seperti ini sebelumnya. Bahkan saat orang tuanya memilih untuk tidak peduli dengannya lagi, tidak semenyakit ini. Kenapa hatinya terasa amat sesak. Melebihi rasa sesak saat Arlando dan Deisya sedang berpacaran. Emi belum pernah merasakan ini sebelumnya. Sesak yang menyiksanya. Air matanya pun dengan sangat deras berjatuhan, melewati pipi tirusnya yang semakin hari akan semakin tirus.

"Van, kenapa rasanya dada gue sesek ya?" tanyanya. Pandangan kosong ke depan. Tapi jelas air mata berjatuhan menandakan gadis itu sedang bersedih. Vannes menatapnya sedih, melihat orang yang dicintainya menangis jauh lebih menyakitkan. Ingin sekali ia merengkuh tubuh lemah Emi, mencoba menenangkan gadis itu. Tapi siapa dia? Bukanlah orang yang penting bagi gadis di depannya.

"Lo cemburu karena Arland lebih milih jagain Deisya daripada lo, kan?" ujar Vannes datar. Pernyataan yang membuatnya merasa sakit. Sakit yang sudah biasa dia tanggung. Sakit yang sering dirasakannya saat melihat tatapan penuh cinta dari gadis di depannya. Tapi sayang, tatapan itu tidak ditujukan kepadanya. Melainkan kepada sahabatnya sendiri. Alis Vannes berlipat, menatap aneh Emi yang sedang menggeleng.

"Nggak Nes, ini bukan perasaan cemburu. Tapi.... Hiks, lebih ke perasaan takut kehilangan seseorang. Hiks...... Sesak ini, jauh lebih menyiksakan ketimba mengingat usiaku yang tidak lama lagi, Nes. Hiks.. " Emi menundukkan kepala sambil tangan memegang dadanya. Seperti menahan sakit. Vannes tercengang dan langsung panik.

"Mi, Em. Dada lo sakit? Gue panggil dokter, ya!" saat akan menekan tombol untuk memanggil dokter. Tangan Emi langsung melingkar di bahu Vannes, membuat cowok itu membeku. Isak tangis gadis itu sangat jelas dia dengar. Membuat hatinya tambah hancur dab ngilu. Dia tidak bisa lagi tidak peduli. Tangannya juga ikut melingkar ditubuh kecil Emi. Mengusap punggungnya penuh kasih sayang, membuat Emi sedikit lebih tenang.

"Nes, bawa aku ke tempat Deisya. Aku... Hiks. Aku sangat bersalah Nes. Aku menyesal!" ujar Emi di dalam pelukan Vannes. Cowok itu mengerti, sesak yang dirasakan Emi dikarenakan takut kehilangan Deisya. Ternyata persahabatan Emi untuk Deisya tulus, hanya saja keinginan untuk memiki Arlando membutakan gadis itu. Pelukan Vannes tambah erat, sakit itu kembali datang. Setidaknya dia bisa memeluk Emi sekarang sepuasnya. Walaupun mungkin ini merupakan pelukan terakhir mereka.

"Oke!" bisik Vannes di atas kepala Emi. Vannes memejamkan mata, meresapi kehangatan pelukan dari gadis yang dicintai ini. Mengingat rasa pelukan yang akan selalu dikenangnya. Karena terlalu fokus mengingat itu, ia tidak sadar ada sebuah hati yang menghangatkan ketika di perlakuan lembut oleh lelaki itu. Emi sudah sangat tenang akibat pelukan Vannes. Pelukan yang sangat membuatnya nyaman, penuh kasih sayang, dan merasa dibutuhkan. Emi menyukai pelukan Vannes, pelukan yang selalu membuatnya tenang.

Dia tidak pernah merasakan pelukan ini dari Arlando. Dan jika jujur, perasaannya kepada cowok itu sudah lama menghilang. Tapi dia tidak tahu kapan. Bukannya rasa puas ketika dapat mendominasi cowok itu, tetapi perasaan menyesal. Dia baru menyadari ini. Kenapa harus sekarang dia menyadarinya, kenapa tidak dari sebelumnya. Dia tidak akan menyakitkan sahabatnya jika mengetahui isi hatinya ini lebih cepat. Kenapa harus terlambat? Emi kembali menagis, merutuki kebodohannya.

"Sstt, tenang Mimi, Vavan pasti selalu akan di samping Mimi," Emi semakin terisak. Dia tidak buta sehingga tidak menyadari perasaan Vannes kepadanya. Ia sangat tahu. Dia kembali merasa bersalah saat mendengar ketulusan dari suara Vannes. Ketulusan yang sebenarnya. Emi kembali menangis dipelukan hangat itu. Menumpahkan segala emosi yang berkecamuk. Vannes juga mengelus kepala serta punggung gadis itu, diselangi beberapa kecupan di kepala Emi. Tidak terasa, Emi mulai tenang sampai gadis itu tertidur. Vannes membaringkan tubuh kecil itu dan menarik selimut hingga batas dada. Menatap setiap inci wajah Emi, menatapnya sayu. Tatapan penuh cinta. Membungkuk, Vannes mengecup dahi Emi lama. Mencurahkan semua cinta melalui kecupan itu.

"I always love you, Mimi."

***

TBC~

Drama nggak sih part ini? Oe kurang inspirasi sekarang, maaf kalau nggak memuaskan. Moga enjoy baca cerita ini ya! 

Dan jangan lupa baca work yang satunya lagi. YOUR GIRL FRIEND.

Thanks guys!! 😘✋✌

ARLASYA (Completed)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang