13. Mahesa dan Deva

93 13 0
                                    

Happy Reading...

"Lo deket sama dia?"

Tak ada jawaban sama sekali. Pertanyaan itu membuatnya bungkam.

"Jawab! Lo deket sama dia?!Hah?!" tanyanya lagi dengan nada tinggi.

Dia mendongakkan kepalanya, "Kalo iya, kenapa?"

"Jauhin dia."

"Gue gak akan jauhin dia. Gue sayang sama dia." Kekesalannya kini memuncak. Mahesa tak mau lagi mengalah. Karena ini urusannya dengan hati.

"Tapi gue juga sayang sama dia." tukas Deva.

"Gue gak peduli." Mahesa mencoba untuk mengkontrol emosinya agar tak meluap. Ia bisa saja kalap. Tetapi di hadapannya kini bukanlah orang asing melainkan adik kandungnya sendiri.

"Lo Kakak. Harusnya ngalah sama Adik sendiri."

"Tapi ini beda urusannya, Deva."

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka. Muncul sosok perempuan dengan rambut digerai. Dan masih menggunakan seragam sekolah. Mereka berdua langsung tersentak, melotot ke arah pintu.

Perempuan itu hampir menangis. Matanya berkaca-kaca. Bukannya masuk ke dalam untuk mengambil bukunya yang ketinggalan. Dia malah berlari melawan arah. Menjauh dari dua orang yang ada di hadapannya tadi. Dia menghiraukan panggilan mereka yang memanggil namanya. Dia tak peduli lagi dengan keadaan. Dia hanya tersentak dengan kenyataan yang ada. Sebegitu sempit kah dunia? Sampai orang-orang tersebut ternyata berhubungan.

Disinilah, Indah saat ini. Taman yang berada dekat sekolahnya. Ia tak bisa menahan lagi tangisnya. Kata-kata itu masih mengelilingi pikirannya.

"Lo Kakak. Lo harusnya ngalah sama Adik sendiri."

"Tapi ini beda urusannya, Deva."

Selalu saja kata-kata itu yang muncul di pikirannya. Hatinya kacau. Tak percaya dengan realita yang ada. Realita bahwa ternyata Mahesa dan Deva adalah kakak-beradik. Mereka yang Indah sayang. Mereka yang selalu melindungi Indah. Mahesa yang selalu membuatnya tersenyum, berbeda dengan Deva yang selalu membuatnya menangis karena meninggalkannya dulu. Tapi tetap saja, Indah menyayangi keduanya. Indah tak menyangka bahwa mereka bersaudara.

"Nih..."

Indah menoleh ke asal suara. Dia menyodorkan sebatang coklat. Dengan senyum tulus yang menghiasi wajah tampannya. Indah menyeka sisa-sisa air matanya.

"Buat aku?"

"Iya. Buat lo."

Indah menerima coklat dari laki-laki itu. Dia cukup tampan. Sepertinya umurnya sepantaran.

"Makasih." seru Indah.

"Sama-sama," ujarnya. Lalu laki-laki itu menjulurkan tangannya, "Nama gue Revan."

Cepat-cepat Indah menerima julurannya, "Nama aku Indah."

"Wah...bagus dong. Tapi gak usah pake aku-kamu, lo-gue aja."

"Aku lebih suka pake aku-kamu," jawabnya sambil tersenyum.

"Ya udah coklatnya makan."

"Kenapa kamu ngasih aku coklat?" tanya Indah bingung. Karena ia sendiri tak mengenal dia. Sekarang tiba-tiba dia memberinya coklat.

Revan tersenyum menatap Indah, "Karena tadi lo nangis."

"Tapi 'kan kita gak kenal. Kenapa tiba-tiba ngasih aku coklat?"

"Gue cuma selalu gak tega liat cewek nangis. Karena itu bikin gue sakit." Senyumnya masih tetap sama, tak memudar sedikitpun.

"Hm, gitu, ya?"

Rintihan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang