Happy Reading...
Kepergian Mahesa barusan, membuat Indah merasa bersalah. Padahal bukan itu maksudnya. Ia hanya ingin menuruti apa yang hatinya mau. Tapi lagi-lagi, realita tidak sejalan dengan hatinya.
Maaf, mungkin hanya kata itu yang bisa Indah katakan saat ini. Bukan hanya Mahesa yang sakit hati di sini, tapi dirinya pun sama. Tak bisakah orang-orang mengerti apa keinginannya?
Revan yang sedang duduk di samping ranjang Indah, menatapnya dengan sendu. Ia tahu persis apa yang saat ini sedang kembarannya rasakan. Bukankah hati mereka sama?
Revan melihat tatapan kosong itu, tatapan yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin dilontarkan. Tapi sepertinya dia tak mampu. Tanpa disadarinya pun, air matanya meleleh. Pikirannya masih melayang-layang entah kemana.
Revan bangkit dari posisinya, "Indah, kenapa nangis?" tanyanya hati-hati.
Indah menatap Revan dengan sendu yang begitu tersurat. Air matanya begitu meleleh. Membuat hati Revan mendadak mencelos. Nafasnya terasa berat, melihat kembarannya begitu sakit hati.
Tanpa mengatakan apapun, Indah langsung berhambur memeluk Revan dengan begitu erat. Tak memperdulikan rasa sakit dari tusukan jarum infus yang tersemat di punggung tangan kirinya. Dan tanpa berpikir dua kali, Revan membalas pelukan itu dengan senang hati. Mencoba mengusap-usap punggung Indah dengan lembut. Berusaha untuk memberinya ketenangan. Semoga saja itu berhasil.
"Kak, apa yang aku lakuin salah, ya?" ujar Indah dengan suara parau.
"Nggak salah kok." Revan yang semakin giat mengusap punggung Indah secara lembut, terus memberikan ketenangan.
"Tapi kenapa Mahesa marah sama aku? Kenapa dia pergi gitu aja tadi?"
Revan menguraikan pelukannya. Mulai menangkupkan kedua tangannya ke pipinya. Menatap lekat ke dalam matanya. Dengan senyum menguatkan yang menghiasi wajahnya, meski masih ada sendu di sana. Indah balas menatap, seolah ingin tahu apa yang akan diucapkan oleh Revan.
"Dia nggak marah, percaya sama aku. Mungkin dia lagi capek, jadi marah-marahnya ke kamu."
"Tapi kan—..."
"Ssttt! Jangan mikir macem-macem. Kamu lagi sakit, harus banyak istirahat." Revan mulai mengeluarkan sifat over protective-nya.
Ya, akhir-akhir Revan berubah menjadi lebih sensitif jika ada sesuatu terjadi padanya. Walaupun dari pertama kali bertemu, telah kelihatan sifat protektif-nya.
"Kak... Deva ada di mana sekarang?"
"Gak tau."
"Telepon dong..."
"Iya." Akhirnya dengan sedikit paksaan dari Indah, Revan mulai menelepon nomor kontak Deva. Tapi setelah berkali-kali, teleponnya selalu direject. Entah apa yang sedang dia lakukan di sana.
"Nggak diangkat, Indah. Terus gimana? Lebih baik kamu istirahat aja, ya? Siapa tau Deva entar—..."
"Gak mau." Indah memotong ucapan Revan. Ucapannya terdengar egois.
"Teleponnya nggak angkat, percuma aja ditelepon. Lagi sibuk kali dia. Nggak atau deh lagi ngapain." Revan yang mulai keki, hanya memutarkan bola matanya jengah. Apalagi dengan sikap Indah yang berbeda dari saat pertama kali bertemu. Terlihat lebih... egois.
"Maaf Kak... Lagi-lagi aku egois."
🌧🌧🌧
Menyebalkan sekali bukan, saat kesenanganmu diganggu oleh orang lain. Saat ingin sendiri, tapi justru malah diganggu tak henti. Deva kini, tengah berada di pusat perbelanjaan. Sedang menemani Sherlyn yang tengah berbelanja. Sebenarnya Deva malas, tapi karena Sherlyn sempat memelas, Deva jadi tidak tega menolaknya.
Berulang kali meruntuk, mengumpat, sumpah serapah, tetap saja orang yang sedang bersamanya itu tidak peka. Katanya jadi orang itu harus peka, tapi sendirinya tidak peka, cuih. Runtuk Deva.
Apalagi sedari tadi Revan, kembarannya Indah. Yang Deva masih belum mempercayai itu, terus saja meneleponnya. Dan berulang kali Deva terus me-rejectnya. Entahlah, mood Deva sedang tidak baik. Dan ini karena Sherlyn.
"Sher, udah belom, lama banget sih." Entah sudah yang keberapa kali Deva menanyakan itu, Sherlyn sampai pusing mendengarnya. Terlihat dari rautnya yang tampak jengah.
"Bentar dulu dong, ih... Lo nggak sabaran banget. Nggak ikhlas lo nemenin gue?"
"Iya."
"Apa?" Sherlyn langsung menoleh menatap Deva dengan menyipitkan matanya.
"Lo gak denger gue bilang 'iya'?"
"Lo gak ikhlas nemenin gue belanja?" ulangnya dengan sedikit hati-hati.
"Iya. Puas lo?" balasnya dengan penekanan. Masih dengan muka datar.
"Jahat banget sih jadi orang. Ya udah, pulang aja sana." Sherlyn memalingkan pandangannya.
"Oke." Deva pun pergi meninggalkan Sherlyn, tak lupa meletakkan beberapa kantong belanjaan milik Sherlyn. Tapi, belum beberapa meter melangkah. Suara Sherlyn kembali terdengar.
"Deva tunggu," Deva pun kembali berbalik, menatap Sherlyn dengan dahi yang berkerut.
"Apa lagi?" Terlihat raut lelah dari ucapannya.
"Lo kok tega banget sih ninggalin gue beneran."
"Lo kan yang bilang. Kenapa seakan gue yang jahat di sini."
"Ih, Deva. Itu kan cuma gertakan gue doang. Kenapa jadi beneran?"
Deva semakin mengerutkan dahinya. Semakin tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh cewek yang ada di hadapannya ini.
"Lo pikir gue siapanya elo, sampe beraninya ngelakuin hal itu."
"Kita itu cuma temenan, nggak lebih dan nggak kurang. Lo datang saat gue lagi sedih, gue datang saat lo lagi sedih juga. Jadi kita impas, 'kan?"
Ucapan tajam menusuk dari Deva, langsung membuat Sherlyn menunduk dalam-dalam. Bergeming untuk beberapa saat. Menyadari kesalahannya.
Iya, ia sadar apa yang telah ia lakukan. Setetes air matanya jatuh. Sedetik kemudian Sherlyn langsung menyekanya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi bahkan tanpa melihat Deva lagi, Sherlyn berlari sejauh mungkin yang ia bisa, agar bisa menjauh dari Deva. Tidak peduli oleh orang-orang yang menatapnya aneh. Yang saat ini ia butuhkan hanya ketenangan. Hanya itu, sesederhana itu. Tapi sangat sulit bagi seorang Sherlyn Ghanira untuk mendapatkannya.
Deva terus mengejar Sherlyn yang berlari kencang. Bukan apa-apa, ia hanya tidak mengerti kenapa dia lari begitu saja. Ia pun dapat melihat, bahwa tadi ia menangis. Apakah ucapannya tadi begitu menyakiti hatinya? Jika ia, Deva merasa sangat bersalah. Ia tidak pernah mau menyakiti seorang perempuan. Cukup Indah yang pernah ia sakiti, tidak akan ia biarkan dirinya menyakiti hati orang lain lagi.
Argh! Sudah lama Deva tidak melihat wajah cantik Indah. Rasanya.... Argh! Ia lupa sedang mengejar Sherlyn.
"Sherlyn, berhenti!"
Seketika Sherlyn berhenti, Deva pun langsung mendekatinya. Tanpa aba-aba apapun, Deva memeluk tubuh Sherlyn yang sedang menangis itu. Tidak peduli dengan posisinya kini sedang berada di mana
"Maafin gue, Sher. Gue gak tau kalo perkataan gue nyakitin hati lo."
Sherlyn melepaskan pelukannya, karena ia merasa canggung. Entah kenapa detak jantungnya, berdetak lebih cepat. "Ini bukan salah lo kok. Gue emang lagi sedih, makanya gue minta lo buat temenin gue," ujar Sherlyn kaku.
"Maafin gue..." Deva menunduk, entah karena apa.
"Lo nggak salah. Gue yang terlalu memaksa."
"Oke... Mau makan, gak?" Deva mencoba menunjukkan wajah binar agar Sherlyn kembali tersenyum.
"Deva..., Sherlyn. Kalian berdua di sini?"
🌧🌧🌧
Quotes: Tiga kata 'hargai selagi ada' sepertinya sudah terlalu lumrah. Lantas, masih adakah hal yang disia-siakan di dunia ini? Jawabannya pasti BANYAK.
🌧🌧🌧
Selasa, 7 Mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintihan Hujan
Teen Fiction°• s e l e s a i •° **** Indah Ayumi, menginginkan pelangi di hidupnya datang, untuk pergi meninggalkan rintikan hujan sendirian. Saat itu juga, Mahesa Anggara datang untuk menawarkan pelangi kebahagiaan yang sempat hilang. Tapi, Indah sendiri masih...