Happy Reading...
"Sebenernya, kita itu kembaran..."
Kalimat itu akhirnya terlontarkan juga dari mulut Revan. Terasa lega beban di pundaknya berkurang satu, setidaknya mengurangi walau itu tak banyak.
Tapi melihat ekspresi yang ditampilkan mereka. Membuat Revan merasa takut untuk berbicara lagi. Takut jika mereka tak akan ada yang mempercayainya.
Dan benar saja, di saat semua orang sedang saling pandang kebingungan. Deva justru malah tergelak. Sontak, membuat semua orang yang tengah berada di ruangan rumah sakit itu malah semakin kebingungan.
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kamu pasti bercanda, 'kan?" ujar Indah tak percaya.
"Gak keliatan serius?" Revan malah balik menanya.
"Gue gak percaya lo kembarannya Indah," elak Deva yang masih tertawa.
"Mau bukti?"
"Iyalah, sekarang di dunia ini, orang gak bakalan percaya kalo cuma dengan ucapan, tanpa ada bukti," timpal Mahesa.
"Oke, gue kasih buktinya nanti."
"Kenapa gak sekarang?" tanya Indah bingung. Karena bingung, antara harus percaya atau tidak.
"Pokoknya nanti, asal lo percaya sama gue, gue akan kasih bukti itu nanti."
"Oke. Siapa nama orang tua kita?"
Berfikir sejenak, "Hm, Papa Arfana Evan dan Mama Clara Yumi, bener, 'kan?"
"Iya, bener." ujar Indah lirih.
"Indah, gue juga tau nama orangtua kita dari nenek."
"Nenek? Oke, tapi kenapa aku gak pernah tau punya kembaran?"
"Entahlah, sulit bagi gue memahami ini. Gue harap lo gak akan ngejauhin gue, In. Setelah tau kebenaran ini."
🌧🌧🌧
Entah harus bahagia atau sedih mendengar kebenaran ini, Deva memilih untuk keluar saja dari ruangan yang sesak itu. Mencari udara yang lebih segar untuk dihirup.
Kini, Deva memilih mengendarai mobilnya menembus jalanan kota, menuju tempat yang selalu membuat dirinya tenang. Setidaknya, untuk sementara.
Sakit rasanya melihat orang yang disayangi menderita. Siapa lagi kalau bukan Indah. Ya, tapi bukan karena itu dirinya merasa sesak. Bukan karena Indah mendengar kebenaran bahwa Revan adalah kembarannya. Tapi, ini perihal penyakit Indah yang sudah mencapai stadium 3. Penyakit yang kini, tidak bisa dianggap remeh lagi.
"Argh! Gue gak bisa diem aja kayak gini!"
Deva berteriak kepada air yang sangat tenang, tempat favoritnya. Apa lagi kalau bukan danau tempat paling bersejarah tentang kisahnya.
Di sinilah tempatnya, walaupun di sini pertama kalinya dirinya menyakiti perasaan Indah. Tapi tetap saja tempat ini yang paling berkesan di hidupnya.
Dan, di sinilah sekarang dirinya, kembali memikirkan keadaan Indah yang semakin hari semakin parah.
Tiba-tiba, sesuatu yang lembut menyentuh bahunya. Membuyarkan lamunan tentang Indah. Deva menoleh, mendapati seorang perempuan dengan dress berwarna pink yang sangat mencolok. Sepertinya dia sangat menyukai hal-hal yang berbau feminim. Lihat saja sekarang, setiap Deva bertemu dengannya, pasti dia akan berbusana yang feminim.
Siapa lagi kalau bukan Sherlyn Ghanira. Perempuan yang akhir-akhir ini sering bersama Deva. Ada saja pertemuan tak terduganya, seperti sekarang ini.
"Santai kali ngeliatinnya. Emang harus banget ya dari atas sampe ke bawah," sindirnya.
Lamunannya buyar, "Eh, geer banget lo, siapa juga yang ngeliatin lo."
"Idih, ngeles."
"Sorry ya, lo siapa, gue gak kenal. Dan juga, gue gak jago ngeles tuh."
"Songong ya ,lo? Kepentok di mana lo sampe amnesia gitu?"
"Haha, amnesia? Bahasa apaan tuh?"
"Ngeselin ya lo lama-lama."
Sherlyn pun beranjak mendekati Deva untuk memukul tubuhnya, tapi saat akan mencoba mendekatinya, sepatu high heels yang digunakannya malah patah dan membuat dirinya menabrak tubuh bidang Deva.
Untung saja Deva dengan sigap menahan tubuh Sherlyn, jika tidak, mungkin dia akan mencium aspal. Maka yang terjadi selanjutnya, mereka malah saling menatap satu sama lain.
Hingga akhirnya, mereka sadar, lalu Sherlyn menjauhkan tubuhnya dari pelukan Deva.
"Aduh...kaki gue," ringisnya.
"Makanya, gak usah sok-sokan pake high heels deh."
"Bukannya bantuin, malah bacot lo."
Tanpa bertele-tele lagi, Deva langsung mengangkat tubuh Sherlyn. Membawanya menuju mobilnya. Sherlyn yang mendapat perlakuan itu tersentak sejenak, lalu yang bisa ia lakukan hanyalah mengalungkan tangannya ke leher Deva. Kan bahaya kalau sampai terjatuh.
🌧🌧🌧
Sesak. Itulah yang ia rasakan sekarang. Kebenaran apa lagi yang membuat hatinya meringis. Tak cukupkah penyakit yang dideritanya menyakiti jiwanya.
Indah belum bisa menerima kebenaran ini. Tapi, mencoba untuk bisa menerimanya dengan senang hati. Orang yang selalu memberinya coklat dikala sedih, orang yang selalu membuat dirinya tersenyum, orang yang memaksakan diri menghibur dirinya, tenyata kembarannya sendiri.
Pantas saja saat dirinya berada di dekatnya, ia akan merasa aman. Walaupun ia tahu kalau dia orang baru yang akhir-akhir ini dikenalnya. Sekarang, Indah tahu alasannya.
Indah dan Revan adalah kembar tak seiras.
Memikirkan itu masih sulit untuk dipercaya. Ah, rasanya bingung harus bahagia atau sedih.
"Revan, kalo kamu beneran kembaran aku, kenapa gak tinggal serumah sama aku?"
"Gue juga gak tau kenapa. Tapi kata nenek, tunggu sampe Mama dan Papa jemput."
"Ya udah, nanti pulang sama aku aja. Kamu pasti yang jadi Kakak," ujar Indah semangat.
"Lebih baik gue keluar aja, takut ganggu kalian," ucap Mahesa lalu beranjak meninggalkan ruangan tempat Indah berbaring.
"Dia kenapa?"
"Gak usah dibahas deh."
"Iya deh. Kamu yang jadi Kakak, 'kan?"
"Iya. Oh iya, kok lo jadi tiba-tiba semangat gitu, sih."
"Ya, gak apa-apa sih, cuma seneng aja, ternyata aku masih punya sodara. Tapi, kenapa Mama sama Papa pisahin kita berdua?"
"Gue gak tau, In," ujarnya lirih. "Oh iya, nama gue sebenernya itu Rehani Kevan. Disingkat jadi Revan. Lo bisa panggil gue apa aja."
"Oh, bagus ya disingkat. Tapi, kalo aku manggil kamu Kakak aja gimana?"
"Hah? Gue gak salah denger, nih?"
"Ish, nggak lah, gimana boleh, gak?"
"Itu sih terserah. Tapi emangnya kamu udah percaya kalo kita itu kembaran."
"Aku percaya, karena setiap aku di deket kamu rasanya aku tuh ngerasa selalu aman. Dan juga, nyaman aja kalo di deket kamu. Lagipula, kalo kita bukan kembar, aku gak mungkin bisa ngerasain ikatan batin antara kamu."
"Makasih ya, Indah, udah percaya," ujarnya seraya memeluk Indah.
"Oke, Kak Revan," ujarnya sambil tersenyum sangat manis walau keadaannya sedang lemah, dan itu malah membuat Revan prihatin.
"Oke, Indah, gue harap lo berjuang ngelawan penyakit lo ini, jangan putus asa, oke?"
"Pastinya, Kak."
🌧🌧🌧
Quotes: Percaya gak kalo apapun yang kita percaya, pasti semua itu gak akan sia-sia. Kecuali, ketidakpastian.
🌧🌧🌧
Sabtu, 2 Maret 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintihan Hujan
Teen Fiction°• s e l e s a i •° **** Indah Ayumi, menginginkan pelangi di hidupnya datang, untuk pergi meninggalkan rintikan hujan sendirian. Saat itu juga, Mahesa Anggara datang untuk menawarkan pelangi kebahagiaan yang sempat hilang. Tapi, Indah sendiri masih...