14. Kenyataan Pahit

83 11 0
                                    

Happy Reading...

Pikirannya tak karuan. Hatinya merasakan sakit yang terlalu dalam. Ia tak bisa menerima kenyataan dengan mudah. Terlalu pahit menerimanya. Ia sendiri sudah tak bisa menangis. Tangisannya telah habis. Karena seharian ini ia tak ada hentinya untuk menangis. Bahkan, ia sampai bolos sekolah. Tak memperdulikan seberapa sakit yang ia rasakan. Sakit karena penyakitnya. Sakit karena kenyataan. Ia tak peduli lagi akan hal itu.

Indah merasakan nyeri di kepalanya. Tapi ia tak menggubrisnya. Ia membiarkannya sampai nyeri itu hilang. Indah tak menyangka bahwa orang yang ia sayangi, orang yang membuatnya nyaman, ternyata orang yang memiliki hubungan darah dengan Deva. Orang yang ingin ia singkirkan dari pikirannya.

Merasa terkhianati dengan hidup. Ia merasa tak adil dengan keadaan. Indah yang selalu berpikir bahwa pelangi juga bisa bertahan lama, nyatanya memang tak bisa. Tak bisa untuk mengubah takdir yang ada. Selalu saja hujan deras yang hadir menyapa dengan durasi yang lama.

Ponsel Indah berdering, tetapi ia tak berniat mengangkatnya. Bahkan mungkin pesan pun telah hadir di dalam ponselnya.

"Aku pengen bahagia, dengan satu orang yang tulus. Kenapa susah," runtuk Indah di sela-sela tangisnya.

Lelah karena menangis. Tubuhnya pun melemah. Saat akan beranjak ke luar kamar, untuk memakan sesuatu. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung jatuh, tergeletak di atas lantai yang dingin. Tak sadarkan diri.

Pingsan.

🌧🌧🌧

Sudah mencari ke seluruh bagian kelas, seluruh sudut sekolah. Tetapi, tetap saja yang dicari tak menampakkan batang hidungnya. Ditelepon pun dia tak menjawabnya sama sekali. Padahal sudah hampir ratusan kali, panggilan darinya dia abaikan. Entah apa yang membuatnya semarah ini.

"Gue harus ke rumah Indah sekarang juga."

Deva menahan tangan Mahesa, "Eits, ini masih jam pelajaran."

"Gue gak peduli."

"Lo harus peduli. Ke rumah Indah pulangnya aja, 'kan bisa."

"Gue gak peduli."

"Mahesa!" bentak Deva. Membuat orang yang sedang berlalu lalang di sekitar koridor meliriknya.

Kedekatan mereka membuat keanehan bagi para siswa-siswi yang melihat mereka. Karena mereka berdua tak pernah terlihat bersama. Bahkan mereka biasanya dingin terhadap satu sama lain, kecuali kepada Indah.

Mereka tak peduli dengan apa yang dikatakan teman-temannnya. Yang sekarang mereka utamakan adalah persoalan Indah. Mereka berpikir bahwa, kemarin Indah telah mendengar percakapan mereka berdua.

"Oke. Tapi 'kan kita bisa izin," tukasnya. "Lagian, kepsek di sini adalah bokap kita sendiri," lanjutnya dengan suara yang bisa dibilang berbisik.

"Okay. Kita izin sekarang."

🌧🌧🌧

Beruntung saja Papanya sekaligus kepsek di sekolah mereka mengerti situasi. Jadi, mereka diizinkan untuk tidak mengikuti pelajaran hari ini.

Setelah mendapat izin darinya. Mereka langsung menuju rumah Indah.

Tak membutuhkan waktu yang lama, mereka telah sampai di rumah minimalis milik Indah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Indahnya ada?"

"Ini temannya, ya? Indah ada di dalam tapi dia mengurung diri dari kemarin. Bibi takut terjadi apa-apa sama Non Indah," jawabnya dengan nada sedikit cemas.

"Iya, kami temannya. Bibi gak usah khawatir. Boleh kita masuk?"

"Oh. Boleh-boleh. Silahkan masuk." Bi Mina langsung membuka lebar-lebar pintu.

Bi Mina mengantarkan Mahesa dan Deva naik ke lantai dua, di mana kamar Indah berada. Setelah sampai ternyata pintunya terkunci. Dengan terpaksa, Mahesa harus mendobrak paksa pintu kamar Indah. Karena dia tak menjawab panggilan mereka sama sekali. Lagipula, Mahesa sudah terlalu cemas dan takut terjadi apa-apa dengannya.

Ternyata dugaan Mahesa benar. Setelah pintu terbuka lebar. Terlihat Indah telah tergeletak di atas lantai dengan keadaan pingsan. Tubuhnya sangat lemah. Wajahnya pun terlihat sangat kacau.

Kecemasan Mahesa menjadi-jadi, ia langsung membopong tubuh Indah dan cepat-cepat membawanya menuju rumah sakit terdekat.

Mahesa akan menyesal seumur hidup, jika terjadi sesuatu terhadap Indah. Ia tak bisa membiarkannya seperti ini. Karena Mahesa sangat menyayangi Indah. Ah, bukan. Yang tepat adalah Mahesa sangat mencintai Indah. Sangat, sangat, sangat mencintai Indah.

🌧🌧🌧

Sudah dua jam berlalu, tapi tak ada tanda-tanda bahwa Indah akan sadarkan diri. Mahesa menjadi sangat resah, begitu pula dengan Deva. Mereka masih belum merasa lega jika Indah belum sadarkan diri. Walaupun keadaannya tidak kritis lagi.

"Kok Indah gak sadar-sadar, ya?" tanya Mahesa.

"Tunggu aja ntar juga sadar."

"Ini udah dua jam lebih lho dia gak sadar."

"Iya gue tau," ujar Deva kesal. Karena Mahesa telah menanyakan itu berulang kali.

"Gue takut dia kenapa-kenapa," gumam Mahesa.

"Lo tenang aja. Dia baik-baik aja kok. Dia cewek yang kuat," Deva berusaha menenangkan Mahesa, dengan menepuk-nepuk pundaknya berkali-kali.

"Iya. Pasti baik-baik aja."

"Lo segitunya ya sayang sama dia."

"Ya iyalah," ujar Mahesa.

"Iya, sampe lebay gitu," cibir Deva.

"Bukan lebay, tapi perhatian," bela Mahesa.

"Huh. Dasar lebay."

"Sialan."

Deva hanya tertawa kecil melihat kekesalan Mahesa. Karena ia jarang sekali akrab seperti ini dengan Kakaknya. Melihat Deva tertawa, Mahesa pun ikut tertawa. Menghentikan sejenak kecemasannya terhadap Indah. Mencoba bahagia meski sulit dijalani. Mencoba menerima segala yang terjadi sekarang atau nanti.

🌧🌧🌧

Quotes: Ternyata, mengetahui realita yang buruk secara mendadak. Membuat kita sulit menerima realita itu. Realita bahwa itu adalah kenyataan pahit.

🌧🌧🌧

Jumat, 4 Januari 2019

Rintihan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang