Happy Reading...
"Deva... Sherlyn, kalian di sini?"
Kedua orang itu menoleh ke asal suara. Pandangan mereka bingung, terlihat dari kerutan di dahinya. Deva yang melihat Mahesa terkejut, tapi akhirnya hanya menaikan sebelah alisnya, meminta penjelasan. Sementara beda halnya dengan Sherlyn yang amat terkejut melihat kehadiran Mahesa. Matanya melotot, saking tidak percaya. Apakah ini mimpi?
"Kalian ngapain di sini berdua?" tanya Mahesa dingin.
Seruan dari Mahesa itu sangat mengejutkan bagi Sherlyn, sampai ia terperangah.
"Oh, itu. Tadi Sherlyn minta ditemenin belanja," balas Deva santai.
"Oh, gitu..." Deva hanya manggut-manggut, mendengar itu.
"Deva, sejak kapan lo deket sama Sherlyn?" Pertanyaan yang terlontarkan, mampu membuat Deva berpikir sejenak.
"Hm, lo kenal sama Sherlyn? Kayaknya lo nggak canggung gitu ngomongin dia di depan orangnya."
"Dia mantan gue," jawab Mahesa santai. Seperti tidak ada hal yang perlu ditakutkan. Tapi, respons Deva jauh dari kata santai, matanya membelalakkan, tidak mempercayai apa yang ia dengar. Sementara Sherlyn, hanya menatap keduanya dengan takut-takut.
"Lo lagi gak halu, 'kan?" Deva hanya ingin memastikan bahwa ucapan yang terlontar dari mulut Mahesa bukan kebohongan.
"Ngapain gue halu."
Ya, memang benar kalau Sherlyn itu adalah mantan pacar Mahesa. Ia tidak sedang halusinasi. Karena wajahnya sangat mirip dengan mantannya itu. Kalau kalian tidak percaya, nama Sherlyn itu, Sherlyn Ghanira, 'kan?
Mahesa, awalnya terkejut melihat Deva yang tersenyum kepada Sherlyn dengan binar di wajahnya. Makanya, cepat-cepat ia menghampiri mereka. Padahal niat awalnya adalah mampir ke cafetaria Ice Coffee untuk menenangkan pikirannya atas kejadian tadi.
"Kenapa gue gak tau?"
"Karena lo waktu itu lagi ada di London. Dan lo nggak pernah anggap gue ada. Inget, waktu itu kita nggak terlalu akrab, jadi buat apa gue cerita hal kek beginian ke elo." Jawaban yang yang terlontar mulus dari mulut Mahesa berhasil membuat Sherlyn terperangah.
"Kalian saling kenal?" tanya Sherlyn hati-hati.
"Kita adik-kakak."
"Hah? Beneran?" Sherlyn terperangah sekali lagi, sumpah demi apapun ia benar-benar terkejut, kenapa tidak pernah kepikiran. Pantas saja, ada rasa nyaman yang sama saat ia berada di dekat Deva. Seperti menemukan kembali sosok yang dulu sempat hilang.
"Permisi, acara sesi tanya jawabnya bisa dipending dulu, kalian nggak pegel apa, dari tadi diri mulu," celetuk Deva dengan cengengesan karena mendapat tatapan tajam dari Mahesa.
"Gak perlu, gue mau balik."
"Buru-buru amat." Bukan Deva yang menjawab, tapi Sherlyn.
Mahesa yang baru setengah jalan itu pun menoleh kembali, menatap Sherlyn dengan pandangan tanya.
"Lo gak mau ngobrol sama gue dulu, gitu."
"Gak. Gue lagi banyak urusan." Itu adalah jawaban paling ketus yang pernah Mahesa lontarkan kepada seorang cewek. Setega itukah?
"Padahal ada banyak pertanyaan yang mau gue tanyain sama lo."
"Gue terlalu malas mengungkit masa lalu."
"Iya, gue tau, gue cuma masa lalu di hidup lo. Tapi apakah lo tau seberapa hancurnya gue saat lo gak ada?"
"Gue gak peduli." Lagi-lagi hanya ucapan ketus yang Mahesa lontarkan. Bahkan, untuk menatap Sherlyn pun, tidak.
"Sa, lo jahat banget sama cewek. Baru kali ini lo kayak gini." Deva yang ikut-ikutan nimbrung itu mulai geram.
"Bukan urusan lo, Dev. Mending diem, gak usah ikut campur."
Entah kenapa, air mata Sherlyn luruh begitu saja. Tangisnya pecah, bibir bagian bawahnya terus saja digigitnya kuat-kuat untuk meredam tangisnya itu. Tapi tetap saja hatinya terlalu dalam terluka. Luka yang Mahesa buat bukan lagi goresan, melainkan tusukan tajam yang menyakitkan.
Segitu tegakah Mahesa memperlakukannya?
Hati ini terasa sakit, tubuhnya mati rasa. Mahesa berhasil menghancurkan hatinya, awal yang indah, akhir yang tak kalah susah. Beginikah nasibnya.
Semesta jahat, Tuhan jahat, bahkan makhluk semua yang hidup di muka bumi ini jahat. Tidak ada yang mengerti dirinya. Rasa sakit apa lagi yang harus ia rasakan. Cewek itu menghancurkan dinding pertahanannya sendiri. Kali ini, ia tidak bisa mengatasi semuanya.
Sherlyn mendongak, menatap penuh sendu tepat kepada mata Mahesa walau dia mengalihkan kontak mata itu. "Mahesa, lo gak pernah tau apa yang terjadi sama gue. Lo gak pernah tau apa yang gue inginkan. Lo bahkan, gak pernah tau, kenapa gue ngelakuin hal yang gak lo suka. Lo gak pernah ngerti tentang perasaan gue. Lo—..."
"Cukup!" Mahesa memotong ucapan Sherlyn, nafasnya naik-turun. "Jangan bicara lagi. Udah cukup. Lo jangan bilang itu lagi. Gue gak mau denger."
"Tapi—..."
"Gue bilang cukup!" Lagi-lagi Mahesa memotong ucapannya.
"Mahesa..." timpal Deva berujar.
"Cukup, Sher. Gue harap lo gak ganggu gue lagi," ujarnya penuh penekanan dengan amarah yang kapan saja bisa meledak. Setelahnya, Mahesa pergi meninggalkan mereka berdua. Tapi tak sampai di situ. Sherlyn langsung mencekat tangan Mahesa. Menyuruhnya untuk jangan pergi, lagi.
"Please, jangan pergi..."
"Gue butuh lo..."
Cinta lama yang hadir lagi. Cinta yang hampir ia lupakan, namun tak sepenuhnya terlupakan. Sakit memang, menyaksikan kenyataan pahit yang terpaksa ia terima, hanya dengan senyum paksa itu, semuanya jadi berubah.
Mahesa, tidak sepenuhnya benci. Namun Mahesa, terlalu benci tuk mengakui. Bahwa ia masih mencintai. Apanya yang salah dengan amarah, bukankah manusia itu lemah. Lelah mengerti, lelah memahami. Salahkah jika dirinya berhenti? Bertemu lagi, bukan berarti harus kembali.
Cekalan tangan Sherlyn, membuat Mahesa kembali merasakan luka lama, luka sayatan tajam akibat orang tersayang. Kini Mahesa, merasa jijik tuk mengakui, bahwa ia pun, tidak pernah bisa lupa. Semua sesuatu tentang dia. Iya, Sherlyn.
"Mahesa, jangan pergi... lagi." Sherlyn, mengulangi ucapannya. Karena dia belum merespons ucapannya. Tatapannya tertuju kepadanya, dapat Sherlyn lihat, ada kilatan sendu di matanya. Ia yakin, bahwa dia tidak sekejam yang ia duga.
Mahesa itu cowok yang baik, Sherlyn yakin itu. Dia, tidak mungkin menyakiti seorang cewek. Bagaimanapun juga, dirinyalah yang berbuat kesalahan dulu. Niatnya hanya ingin meminta maaf.
"Sa, jangan ninggalin gue, oke?"
Tatapannya masih terarah kepadanya. Mereka berdua saling bertatap untuk durasi waktu yang lama. Mereka bahkan lupa, bahwa Deva masih berdiri di antara mereka. Masih terus mencerna masalah apa yang mereka hadapi dulu.
"Kalian, ada masalah apa?"
🌧🌧🌧
Quotes: Aku tidak akan pernah benci, namun aku terlalu benci tuk mengakui. Bahwa aku masih mencintai.
🌧🌧🌧
Kamis, 9 Mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintihan Hujan
Teen Fiction°• s e l e s a i •° **** Indah Ayumi, menginginkan pelangi di hidupnya datang, untuk pergi meninggalkan rintikan hujan sendirian. Saat itu juga, Mahesa Anggara datang untuk menawarkan pelangi kebahagiaan yang sempat hilang. Tapi, Indah sendiri masih...