18. Pelangi dan Hujan

71 6 0
                                    

Happy Reading...

Sesampainya di kamar sang Kakak, Mahesa. Deva langsung membuka pintu kamarnya tanpa mengetuknya terlebih dahulu, berhubung pintunya tak dikunci.

Terlihat di sana Mahesa tengah melamun di balkon kamarnya, menatap nyalang langit-langit malam. Hingga akhirnya Deva menghampiri Kakaknya itu, lalu menepuk bahunya pelan.

Mahesa yang menyadari itu langsung menoleh, lalu mengalihkannya lagi ke pandangan awal.

"Kenapa?" tanya Deva.

"Nggak. Ngapain lo ke sini, ganggu." ketus Mahesa.

"Santai aja kali."

"Mau lo apa? Hah?" tanya Mahesa sambil menatap wajah Deva dengan ekspresi kesal.

"Lo kenapa? Ada masalah?"

Pertanyaan Deva malah membuat Mahesa kembali bungkam, kembali menatap nyalang pemandangan langit-langit di luar kamarnya.

Tersirat kesedihan di wajahnya, itu yang Deva lihat. Sepertinya memang Mahesa sedang ada masalah. Tapi apa? Apa masalahnya.

"Gue ditolak."

Akhirnya, Mahesa menjawab pertanyaan yang ada di benak Deva itu. Tatapannya masih sama. Menyiratkan kesedihan.

"Indah?"

Deva hanya memastikan bahwa yang sedang mereka bicarakan adalah tentang Indah. Bisa saja 'kan mereka nantinya salah paham.

"Iya."

"Lo udah nembak dia?" balas Deva cepat.

"Kenapa sih lo, heboh amat," ujarnya seraya melirik Deva.

"Nggak, gak apa-apa."

"Kapan lo nembak dia?" ujar Deva mengalihkan pembicaraan.

"Tadi siang."

"Di mana?"

"Di tepi danau."

"Reaksi Indah, gimana?"

"Sekali lagi lo nanya, gue jamin mulut lo gue robek-robek," ancam Mahesa sambil menunjuk-nunjuk bibir Deva dengan amarah yang tertahan.

Sementara Deva, malah langsung memegang bibirnya dengan telapak tangan kanannya. Takut-takut bahwa Mahesa akan benar-benar melakukan itu.

"Oke, gak nanya lagi."

🌧🌧🌧

Keesokan harinya Indah merasa canggung berada di dekat Mahesa, ia masih tak enak hati atas kejadian kemarin di tepi danau.

Seperti sekarang, seperti biasa Indah dan Mahesa berangkat bersama ke sekolah. Rasa canggung di antara mereka menyelimuti keduanya.

Benci dengan keheningan, akhirnya Mahesa yang memulai obrolan.

"Indah?"

Terlonjak kaget, "Ya, kenapa?" ujarnya seraya menatap Mahesa.

"Gak usah canggung gitu."

"Hah? Aku biasa aja kok."

Menghela nafas panjang, "Oke, gue ngerti. Anggap aja kejadian kemaren gak ada."

"Kenapa harus gak dianggap?"

"Udah sampe."

Dengan kesal akhirnya Indah turun dari dalam mobil. Berjalan terlebih dahulu meninggalkan Mahesa yang masih berada di parkiran. Ia kesal karena Mahesa mengalihkan pembicaraan.

Memangnya mudah melupakan kejadian yang membuat kita merasa bimbang untuk menjawabnya?

"Hai."

Indah mendongak, "Hai." ujarnya kikuk.

Rintihan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang