45. Ini Takdir?

53 3 0
                                    

Part pendek!!!

Happy Reading...

"Indah, lo marah sama gue?"

Indah menoleh, menatapnya dengan kerutan di kening.

"Lo marah sama gue?"

Cewek itu semakin mengerutkan keningnya. Deva itu kenapa?

"Indah, jawab dong," ucap Deva dengan nafsu yang sedikit merengek.

"Siapa yang bilang aku marah?" Indah balik bertanya.

"Gak ada."

"Iya udah, berarti aku gak marah sama kamu."

"Aku sayang sama kamu." Suara Deva melembut. Gaya bicaranya pun diganti lagi.

Dasar plin-plan, sedikit-sedikit pake lo-gue, sedikit-sedikit pake aku-kamu. Maunya dia apa sih. Indah membatin.

"Iya, tau. Kamu sering bilang itu."

"Kalo kamu gimana?"

"Gak tau, masih abu-abu."

Deva menipiskan bibirnya. "Kamu sukanya sama Mahesa ya?"

"Aku gak pernah bilang kayak gitu," tukas Indah cepat. Malahan sedikit terdengar protes.

Di ruang rawat Indah ini, mereka hanya berdua. Sedari tadi, Deva terus saja berbicara hal yang menurut Indah tidak perlu dibicarakan.

"Aku sayang kamu."

"Iya, aku tau."

"Aku sayang banget sama kamu."

"Iya, aku tau, Dev."

"Bisa nggak kamu sama aku?"

"Gak tau."

Deva menunduk, seraya menghela nafas gusar. Rambutnya ia acak-acak menggunakan kedua tangannya. Tatapannya ia alihkan dari Indah. Apapun itu selain dia.

Sementara Indah, tertegun melihat Deva yang tampak sedikit frustasi. Kepalanya sedang pusing, kini ditambah lagi dengan Deva yang bertingkah aneh.

Kejadian kemarin siang, masih membuatnya sedikit kecewa. Walaupun rasa kecewa itu tidak terlalu ketara di mata Deva.

"Kamu harusnya mengerti, Deva, apa yang aku pengin," ujarnya lirih.

Hanya tiga kata keramat itu.

Satu tetes air matanya jatuh, membasahi bantal rumah sakit

Deva tidak melihat itu, masih sibuk dengan hati dan pikirannya yang melayang.

🌧🌧🌧

Keduanya duduk di kursi yang sama. Pandangannya lurus ke depan. Menatap aktivitas orang-orang yang ada di hadapannya. Saling terdiam. Seolah terlalu malas berbicara.

Hingga akhirnya, Sherlyn mengalah. Cewek itu menoleh pada orang di sampingnya. "Kamu sayang sama aku?" ucapnya buka suara.

Mahesa melirik Sherlyn. Pertanyaan macam apa itu?! Ia menelan salivanya. Bibirnya kelu. Ternyata Sherlyn lebih berani dari pada dirinya. Tapi, pertanyaan sekarang, apakah ia juga suka Sherlyn? Tidak, tidak, lebih tepatnya, ia suka kembali padanya?

Mantan yang katanya sulit dilupakan, memang benar terjadi padanya. Tapi, posisi Indah juga berarti di hidupnya. Cowok itu menghembuskan nafas gusar.

Sherlyn masih menanti jawabannya. Tangannya memilin satu sama lain. Mahesa memberanikan diri untuk menatap tepat pada matanya dalam. Pandangan mereka saling bertemu. Lalu Mahesa memejamkan matanya, memutuskan kontak mata itu.

"Jangan ngomong aku-kamu ke gue, jijik tau gak?" sarkasnya. Lalu Mahesa berdiri. Melangkah pelan menjauh.

Sherlyn menunduk, kecewa. Kenapa sekasar itu? Air matanya jatuh, ia tidak berniat mengejar Mahesa. Hatinya terlalu sakit. Pertahanannya runtuh, hatinya terlalu hancur. Ia selalu bisa menerima perlakuan Mahesa padanya.

Tapi kali ini, dia terlalu kasar menurutnya. Tidak bisakah dia menolaknya dengan halus? Mahesa yang ia kenal, tidak pernah menyakiti seorang cewek.

Atau jangan-jangan dirinyalah yang telah merubahnya.

Cewek itu menyeka air matanya yang jatuh. "Gue gak bisa jauh lagi dari elo, Sa. Kenapa lo gak pernah ngerti," ujarnya lirih.

Sherlyn menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Hari ini, dunianya hancur.

"Jangan nangis dong, cengeng banget elahhh."

Sherlyn mendongak, tersentak kaget. Bagaimana bisa?

"Mahesa?" Mahesa tersenyum tipis. Menyodorkan es krim cone padanya. Sherlyn mengerjap tidak percaya. Ia menyeka sisa-sisa air matanya yang berada di pipinya.

"Ini kamu, kan?" ucap Sherlyn meyakinkan.

"Gue juga sayang sama lo, Sherlyn. Tapi, jangan ngomong aku-kamu lagi, lo gak pantes."

Sherlyn mengulum senyum. "Apaan sih, masih aja kasar."

"Kita pacaran, kan?" tanya Sherlyn.

"Masih berani nanyain itu?"

Sherlyn salah, harinya tidak benar-benar hancur.

🌧🌧🌧

"Indah, kamu kenapa?"

Indah menoleh. Tatapan sendu, ingin sekali ia bercerita semua keluh-kesahnya pada Mamanya ini. Semuanya sudah membaik, bukan?

"Aku boleh cerita?" tanya Indah ragu-ragu. Clara mengangguk setuju.

"Menurut Mama, Deva orangnya gimana?"

Clara sedikit tersentak, tetapi ia tetap tersenyum. "Deva anak yang baik. Mama suka sama dia. Mama akan restuin hubungan kalian."

Kali ini Indah yang cukup tersentak. Lalu ia tersenyum miris dalam hati.

Mendadak pintu terbuka lebar, menampilkan sosok cowok, Revan. Dia tersenyum lebar. Lantas mendekat masuk.

"Ada apa nih, kok kayak tegang gitu. Lagi ngomongin apaan?"

Clara tersenyum. "Nggak kok, Rehan."

Revan manggut-manggut. Omong-omong, hanya Mama dan Papanya yang memanggilnya dengan sebutan Rehan, bukan Revan.

"Indah, kamu lagi ada masalah sama Deva?" ujar Revan tiba-tiba. Refleks, Indah tersedak saliva sendiri.

Indah memasang senyum sedikit terpaksa. "Nggak kok. Aku sama Deva baik-baik aja."

"Oh, kirain. Tadi aku liat dia di taman berduaan sama cewek. Ceweknya cantik sih, kayaknya asli sini. Pas aku samperin, dia malah nyuruh pergi, dan bilang jangan ikut campur."

Indah tampak berpikir. Semua yang terlontar dari mulut Revan itu pasti benar terjadi. Cewek itu memejamkan matanya, merasakan sakit yang selama ini ia rasakan. Sampai saat ini pun, luka itu masih ada. Bahkan tidak akan pernah hilang.

Pelanginya mungkin kini sudah hilang. Pelangi itu sendiri yang menyuruhnya jangan berharap apa-apa.

Ini takdirnya? Ini akhirnya dari segalanya?

Jangan berharap apa-apa pada pelangi. Itu kan yang pelanginya mau?

"Indah, kamu kenapa nangis?"

Suara Revan terdengar menenangkan, tapi tangisnya malah semakin deras. Sakit sekali. Ini begitu sesak.

Apakah semuanya berakhir di sini?

Indah tidak tahu. Mungkin kemungkinan terbesarnya, iya.

🌧🌧🌧

Quotes: Tidak ada kisah yang benar-benar berakhir manis, ataupun tragis. Tapi yang diinginkan oleh setiap kisah, adanya kenangan manis. Namun kenangan tragis pun tidak akan terlupakan, bukan?

🌧🌧🌧

Senin, 24 Juni 2019

Rintihan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang