30. Kesedihan Itu, Masih Tetap Ada

35 3 0
                                    

Happy Reading...

Sepulang dari Rainbow Love Cafe's, Indah dan Revan langsung memilih mendekam di kamar masing-masing. Suasana di rumahnya masih tetap sama, dingin. Tidak ada kehangatan di sana. Rumah yang sangat mewah ini, hanya di huni oleh dirinya, Revan dan juga para asisten rumah tangga. Pemiliknya, selalu menghabiskan waktunya di kantornya. Dengan tumpukan berkas-berkas yang tidak akan ada habisnya.

Terkadang Indah berpikir, untuk apa orangtuanya membeli rumah jika pemiliknya sendiri jarang menggunakannya. Menyewa koki terkenal, padahal jarang memakan masakannya. Paling cuma makan di restoran ternama.

Tok... Tok... Tok...

Terdengar ketukan pintu dari luar kamar Indah. Dengan malas, Indah beranjak dari tempat duduknya. Merapikan sedikit penampilannya. Dan bergerak membuka kenop pintu. Pintu pun terbuka lebar. Terlihat sosok Revan tengah bersandar ke tembok dengan sebelah kaki yang ditumpukan ke tembok sembari menampilkan wajah konyolnya.

"Kenapa?"

Tanpa menjawab pertanyaan dari Indah. Revan melesat masuk ke dalam kamar Indah tanpa permisi. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur empuk milik Indah. Lalu menutup kedua matanya. Indah yang melihat itu menampilkan raut kesal. Bisa-bisanya dia mengganggu ketenangan Indah.

"Ih, Kak Revan, jangan tidur di sini. Aku kan mau tidur juga." Indah yang sudah kesal itu pun langsung mengguncang-guncang tubuh Revan yang sedang menutup matanya.

"Ih, Kak... Tidurnya jangan di sini..." Indah sudah lelah, karena Revan tidak juga merespons. Malah tetap pada posisi awal, tidak bergerak.

Revan mengerang, "Kalo mau tidur, tidur aja."

"Kak Revan-nya awas, kan punya kamar sendiri. Kita tuh nggak boleh tidur barengan walau kembar."

Revan kembali mengerang dan merubah posisi, jadi berbalik arah. "Kamu tidur di kamar Kakak aja."

"Nggak mau!" balas Indah cepat. "Kalo nggak bangun, teriak nih," ancamnya.

"Hm, iya, iya. Bangun."

Revan yang akhirnya bangun pun, langsung keluar dari kamar Indah, masih dengan mata yang tertutup. Dengan cepat Indah pun mengunci pintu kamarnya. Takut Revan kembali lagi. Setelah memastikan terkunci, ia bersandar sejenak di daun pintu, sambil mengulum senyum dan sesekali menggigiti bibir bawahnya.

Indah akui, bahwa dirinya menjadi lebih bahagia setelah kedatangan Revan dihidupnya. Walau, ia akui juga bahwa kebahagiaannya belum hadir sepenuhnya. Karena kesedihan itu, masih tetap ada. Ia selalu sedih, ketika orangtuanya berpapasan di rumah dengan Revan, mereka selalu bersikap seolah tidak ada siapa-siapa. Seperti menganggap Revan itu tidak ada. Tanpa disadari, Indah menitikkan air matanya saat mengingat kejadian itu. Orangtuanya yang selalu menampilkan raut datar, seolah tidak bersalah. Revan yang hanya menunduk sambil terus menahan kesedihannya.

Ya, kesedihan itu masih tetap ada. Seberapa pun bahagianya ia, tetap saja, hatinya masih selalu terluka. Indah, lebih baik tidak bertemu orangtuanya daripada tidak dianggap keberadaannya.

Indah pun akhirnya terduduk sambil memeluk tubuhnya dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.

Benar kan, ia masih tetap sedih. Padahal menit sebelumnya ia masih bisa tersenyum.

🌧🌧🌧

Entah ada angin apa, orangtuanya Indah dan Revan pulang lebih awal dari biasanya. Mereka menyuruh para pembantunya untuk memasakkan makanan yang banyak. Mungkin mereka akan makan malam di rumah, atau mungkin akan ada tamu yang datang. Indah dan Revan yang melihat itu semua langsung melongo, tidak percaya.

Makan malam pun berlangsung dengan hening. Tidak ada yang bersuara, kecuali suara dentingan piring dan sendok yang saling beradu. Mereka semua fokus pada makanan yang ada di hadapannya. Bahkan, Arfana Evan, sang Ayah, tidak menoleh sedikitpun ke arah Indah dan Revan. Itu lebih menyakitkan dari sebuah penolakan. Clara Yumi, sang Ibu pun, memilih fokus kepada ponselnya sambil terus melahap makanannya.

Indah menoleh ke arah Revan yang sedang menunduk, sambil melahap makanannya dengan tidak selera. Indah dapat melihat itu, ada sendu yang tersirat. Indah kembali melirik kedua orangtuanya yang sedang fokus dengan dunianya masing-masing. Ia menggigit bibir bawahnya, tidak, ia tidak boleh lemah di hadapan keluarganya. Indah terus saja bersugesti pada dirinya.

Pernah, Indah mendambakan keluarga yang harmonis. Yang selalu hangat saat berkumpul bersama. Makan malam yang penuh tawa dan kehangatan. Menonton acara televisi yang penuh kebahagiaan. Kebersamaan itulah yang ia impikan dari sejak kecil. Kini, ia berpikir ulang, semua impian itu tidak akan pernah menjadi nyata.

Lihatlah sekarang, tidak pernah ada yang menginginkan makan malam yang dingin, suasana yang mencekam, dan hanya sunyi yang terdengar. Sayang sekali, Indah tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan yang seutuhnya.

Tanpa ia sadari lagi, air matanya telah jatuh melewati pipinya. Diiringi tangis tanpa suara. Sekali lagi, ia terus menggigit bibir bawahnya dengan sekuat tenaga. Agar bisa meredam tangisnya hanya untuk di meja makan ini.

"Kenapa?" Tepukan lembut di bahunya menyadarkan lamunan Indah, ia pun menyeka air matanya. Lalu menoleh ke arah Revan yang sedang tersenyum menguatkan, seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Kenapa?" tanya Revan sekali lagi. Ia sungguh mengerti kenapa Indah tiba-tiba mengeluarkan air matanya lagi, ia tahu, dia pasti bisa merasakan apa yang ia rasakan. Bukankah mereka itu, kembar?

Yang bisa Revan lakukan saat ini, hanya tersenyum kecil. Berlaku seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah semuanya tidak menyakiti hati. Padahal semuanya sangat jauh dari semua itu. Bohong, jika dirinya tidak sakit hati. Jujur saja, ia tidak pernah menginginkan kehidupan yang seperti ini. Ada, tapi dianggap tiada keberadaannya.

"Kak Revan kenapa bengong?"

Seruan lembut itu menyadarkan lamunan Revan, lantas ia pun tersenyum kecil seraya mengacak-acak puncak rambut Indah. "Makan lagi, entar sakit lagi aku yang repot."

Indah mengerucutkan bibirnya dan berhasil membuat Revan terkekeh geli. Begitupun dengan kedua paruh baya itu, yang menatap kembaran itu, dengan mengulum senyum sangat tipis. Bisa dikatakan itu bukan senyuman, tapi Indah dapat melihatnya sekilas.

Benarkah itu sebuah senyuman?

🌧🌧🌧

Kesedihan itu, masih tetap ada.
Terkadang aku berpikir, garis yang Tuhan berikan hanya untuk lara.
Bukan, bukan cewek bernama Lara yang dimaksud, tapi luka.
Di saat seperti ini saja, aku masih bisa bercanda.
Pelangi itu, tidak akan pernah selalu ada.
Hujan itu, tidak pernah henti menyapa.
Aku, ingin selalu bahagia.
Hanya sugesti itu yang tersisa.
Tapi kini, aku berpikir ulang, bahwa hidupku memang tidak pernah ada kata bahagia.

—IndahAyumi

Indah, yang terus menuliskan setiap kata di kertas kosong itu menitikkan air matanya untuk kesekian kalinya. Rasanya sakit terus-menerus menerima kepedihan.

Kini, ia sedang duduk di meja belajarnya, dengan kertas putih yang dicoret rapi dengan tinta hitam miliknya. Ya, yang bisa Indah lakukan hanya menumpahkan segala rasa sakitnya pada kertas yang ada di hadapannya saat ini.

Langit, seperti berkonspirasi dengan Tuhan. Seakan semesta tahu bahwa ada makhluk kecilnya yang sedang menahan gejolak hati. Tangisan langit tapi diiringi dengan pelangi di sampingnya. Cantik. Tapi, Indah hanya bisa meringis melihat kejadian itu. Miris sekali, ia tidak bisa seperti itu.

Kesedihan itu, masih tetap ada. Ya, Indah akan mengingat itu.

🌧🌧🌧

Quotes: Terkadang, apa yang semesta lakukan. Selalu tentang makhluknya yang merasa kesepian.

🌧🌧🌧

Rabu, 1 Maret 2019

Rintihan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang