Happy Reading...
"Rehan, sebenarnya Indah kenapa?" tanya sang Ibu yang berharap-harap cemas, menatap nanar ruang IGD yang berada di hadapannya.
Revan menoleh, menatap orang yang dikata Mamanya ini. "Boleh aku bertanya sesuatu dulu?" tanyanya hati-hati, seraya menipiskan bibir. Dan Clara mengangguk pelan.
"Aku itu ... beneran anak Mama dan Papa? Sekaligus kembarannya Indah?" Revan memejamkan matanya sejenak, takut jawaban yang terlontar fldarinya bukan apa yang diharapkan.
Clara berdehem pelan, seraya melirik suaminya sejenak. Lalu beralih menatap Revan lagi, dengan senyum tipis. "Iya. Kamu anak Mama dan Papa. Kembaran Indah juga. Dan kamu, Kakaknya Indah." Clara menghela nafas sejenak dulu, sebelum melanjutkan. "Kamu pasti akan bertanya, kenapa kamu dipisahkan dengan Indah dari kecil." Revan yang setia mendengarkan, mengangguk setuju. Memang benar, ia berniat menanyakan hal itu.
"Rehan, awalnya Mama sama Papa tidak ingin memisahkan kalian. Tapi, nenek kalian tidak percaya kalau kami bisa merawat kalian. Hingga..." Clara menggantung ucapannya, melirik suaminya yang sedang tersenyum ke arahnya. Revan pun hanya diam, tidak ingin menyela perkataannya.
"Hingga, akhirnya nenek pasrah. Tapi cuma bisa mengambil kamu. Dan kami mempertahankan Indah."
Clara menghembuskan kasar. "Tapi ternyata keputusan itu salah. Seharusnya, kami membiarkan saja Indah dirawat oleh neneknya. Karena pada kenyataannya, kami gak becus mengurus Indah."
"Lihat sekarang, Indah jadi seperti ini, kan? Bahkan kami gak tau Indah kenapa?"
Entah kenapa mata Revan memerah, menahan tangis. Ia mendongak perlahan, menatap manik mata Mamanya itu yang sendu sekaligus teduh. "Kenapa? Kenapa Mama gak coba nanya?" tanyanya lirih.
"Nggak bisa!" tukasnya cepat. Air mata Clara jatuh, bibirnya menipis. Ia menatap ke atas, agar air matanya tidak berjatuhan.
"Kenapa gak bisa?"
Clara terdiam sejenak, bingung ingin menjawab apa. Lagi pula, pasti anaknya tidak akan percaya apa yang akan dikatakannya.
"Kenapa, Ma. Kok diem?"
"Mama gak tau, cara buat ngertiin perasaan anak. Mama terlalu takut buat ngelakuin sesuatu yang berhubungan sama anak. Mama juga gak ngerti apa yang selama ini Indah mau." Clara menunduk dalam-dalam. "Dan maaf, selama ini Mama dan Papa gak mencoba cari kamu."
Revan tersenyum kecil. Jadi ini permasalahannya, mereka hanya tidak tahu caranya memulai. Takut kesan pertamanya malah berdampak buruk. "Aku ngerti sekarang, Mama cuma gak tau caranya memulai. Dan Mama gak perlu minta maaf." Clara mendongak, menatap Revan yang tersenyum kecil. Ada rasa bahagia yang membuncah di dalam hatinya. "Bisa janji sama aku, buat mulai berani memulai?"
Clara mengangguk cepat. "Iya, Mama janji."
Clara Yumi. Dia bersikap seperti itu, karena memang dia masih muda. Bisa dibilang dia pun menikah muda. Arfana Evan pun, tak jauh umurnya dari dia. Bahkan, keduanya memiliki anak di usia yang sangat muda. Jadi, wajar saja jika Clara dan Arfana tidak tahu caranya mengerti apa yang diinginkan seorang anak.
Seketika pintu ruang IGD terbuka, memunculkan seorang dokter yang lumayan masih muda. Dan detik itu pula, semuanya langsung menoleh kepadanya. Meminta penjelasan bagaimana keadaan Indah di dalam.
"Dengan keluarga pasien bernama Indah?" Semuanya mengangguk setuju. Sangat penuh harap. "Keadaan pasien sangat buruk, kanker yang ada ditubuhnya hampir menggerogoti semua bagian tubuhnya."
Clara menautkan alisnya. "Kanker? Maksud dokter, Indah punya penyakit kanker? Kenapa bisa? Penyakit apa?"
Bagai dihujam benda-benda tajam yang sudah diberi racun. Rasanya sakit sekali. Bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Baru saja, ia merasa bahagia. Tapi, kebahagiaan itu langsung terhapus oleh kenyataan yang begitu menyakitkan. Apalagi, ketika dokter itu menyebutkan riwayat penyakitnya.
"Pasien Indah, mengidap penyakit leukimia stadium 3 nyaris stadium 4. Pasien belum bisa dijenguk. Kalau begitu, saya permisi dulu."
Clara melemas, sampai tubuhnya terduduk. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat, sembari menutupi wajahnya yang sudah berlinang air mata. Sakit sekali. Dadanya sampai sesak.
Tubuhnya sudah dipeluk oleh sang suami. Memberikan pelukan ketenangan. Siapa yang akan menyangka di balik wajah datar dan dinginnya, ia meredam amarah. Wajahnya sudah merah padam, begitu pula dengan matanya yang memerah. Dan juga dari rasa bersalahnya.
Rasa bersalah karena begitu tidak becus mengurus anaknya sendiri.
"Ma, jangan kayak gini. Indah pasti gak suka." Revan mencoba tenang. Walau dalam hati, sakitnya begitu membuat sesak. Memang, ia sudah tau dari awal walaupun itu terlambat. Tapi, tetap saja rasanya begitu menyakitkan.
"Revan!" panggil seseorang yang membuat semua yang mendengar menoleh. "Keadaan Indah gimana?" tanyanya, begitu mendekat.
"Gak baik," jawab Revan pendek. Dan terkesan parau. Hingga membuat Deva langsung terduduk lemas.
"Dev, jangan kayak gini dong. Semua orang gak mau Indah kayak gini. Kalo Indah liat lo kayak gini, dia pasti bakalan sedih," ucap Sherlyn menguatkan.
Tadi, dia memaksa ikut pada Mahesa. Dan Mahesa pun dengan terpaksa mengiyakan.
"Walaupun gue baru kenal Indah, entah kenapa hati gue juga ngerasain sakitnya. Gue gak tega buat liat keadaannya. Apalagi setelah tau, dia ngidap penyakit kanker." Sherlyn menatap Mahesa yang juga menatapnya dengan sendu. "Sa, kenapa sesakit ini? Pasti Indah lagi berjuang di sana."
Mahesa merangkul Sherlyn dari samping. Mendekapnya, agar dia tidak menangis. "Jangan nangis, Sher. Gue gak tega liatnya."
"Indah pasti baik-baik aja, kan? Padahal baru tadi siang gue dan dia marahan, karena sikap gue yang kekanak-kanakan. Gue juga belum minta maaf ke dia. Bahkan, gue juga ngejelasin semuanya yang dulu terjadi." Suara dan Deva terdengar pilu. Bahkan ia, sudah menangis begitu sampai di sini.
"Indah pasti baik-baik aja. Gue tau, kalo Indah cewek yang kuat." Mahesa merespons ucapan Deva. Ia sama terlukanya dengan Deva.
"Iya, gue selalu percaya."
🌧🌧🌧
Bisakah pelanginya ini membuatnya bahagia?
Setidaknya untuk kali ini saja, jika tidak ada lagi yang kedua kalinya.
Bisakah semesta mengabulkan itu?
Sudah berjam-jam berlalu, Deva berdiam diri sendirian di rooftop rumah sakit. Tidak ada yang ia lakukan, selain melamun dengan pandangan kosong. Terlalu menyakitkan, melihat keadaan Indah dari balik kaca, tadi. Dia yang lemah tak berdaya. Sepertinya, bangun dari pingsannya pun sangat susah.
Deva merasa bersalah, karena tadi siang, ia dan dia sempat berdebat lewat pesan. Sampai Indah yang mengakhirinya terlebih dahulu.
"In, kalo gue tau dari awal lo bakalan kayak gini. Gue gak bakalan bikin lo marah. Sakit banget tau, In. Ngeliat lo yang terkapar gak berdaya kek gitu." Suara Deva begitu lirih.
"Bisa tolong kembali ke gue lagi?" tanyanya, yang entah pada siapa. Mungkin pada awan mendung yang siap menurunkan butiran air hujan. Tidak ada segaris pun warna pelangi di sana. Semuanya hitam, kelam.
Hingga, air hujan itu pun turun dengan begitu deras. Membasahi kota, sekaligus Deva yang yang sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Sesekali, terdengar kilatan petir menyambar. Semesta sedang memberikan pelajaran IPA padanya. Bahwa gumpalan awan mendung berwarna hitam, menandakan akan turunnya hujan. Serta petir yang ada, karena perbedaan potensial antara awan dan bumi.
"Kenapa rasanya semesta ngedukung perasaan gue sekarang."
Di bawah rintikan hujan yang deras itu, Deva menangis dalam diam. Hingga Mahesa dan Sherlyn yang melihat dari kejauhan hanya bisa meringis.
Sebegitu cintakah dia kepada Indah? Sang pemberinya gelar pelangi?
🌧🌧🌧
Quotes: Mungkin mereka percaya, jika sedang hujan deras tidak akan mungkin muncul panorama pelangi. Bahkan rintikan hujan sekalipun. Tapi, bisakah aku patahkan kepercayaan itu?
🌧🌧🌧
Senin, 17 Juni 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintihan Hujan
Teen Fiction°• s e l e s a i •° **** Indah Ayumi, menginginkan pelangi di hidupnya datang, untuk pergi meninggalkan rintikan hujan sendirian. Saat itu juga, Mahesa Anggara datang untuk menawarkan pelangi kebahagiaan yang sempat hilang. Tapi, Indah sendiri masih...