9. Sakitnya Masa Lalu

106 9 0
                                    

'Kita harus berdamai dengan masa lalu, walau itu menyakiti hati yang ingin cepat berlalu. Dari masa lalu, yang membelenggu hati yang pilu.'
_Author_:'(

🌧🌧🌧

"Es krimnya enak, ya?"

"Iya," jawab seseorang yang yang berada di samping gadis yang sedang memakan es krim. Sambil melihat pemandangan laut senja.

Gadis itu beralih dari pandangan laut senja ke arah seseorang yang di sampingnya. Menatap matanya penuh keseriusan. Serta membuat kebingungan seseorang yang sedang ditatapnya. Tatapannya menyiratkan kesenduan.

"Kamu gak akan ninggalin aku, 'kan?" ungkap gadis itu kepada teman laki-laki di sampingnya yang sedang ditatapnya lekat.

"Iya," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari ombak yang saling berkejaran.

Gadis itu masih termangu. Menunggu lawan bicaranya melanjutkan perkataannya. Karena jawabannya terlalu singkat untuk dipercayai.

Sadar dengan tatapan gadis di sampingnya, laki-laki itu pun melanjutkan. Kini sambil menatap lurus manik mata gadis yang ada di sampingnya yang kini saling berhadapan. "Iya. Gue gak akan ninggalin lo. Walaupun gue ninggalin lo, gue harap lo gak benci sama gue." Menghela nafas sejenak, "Ini udah saatnya."

"Maksudnya apa?" tanya gadis itu bingung. Perkataannya terlalu ambigu.

Laki-laki itu tersenyum."Lo jangan marah, ya. Gue harus pergi."

"Kemana?"

"Ke suatu tempat. Tapi lo gak boleh ikut."

"Kenapa?! Nggak! kamu gak boleh pergi. Aku gak mau kamu seperti laut senja itu. Yang pergi lalu kembali," elaknya sambil menunjuk hamparan laut yang dihiasi langit senja. "Walaupun aku nganggap kamu sebagai pelangi yang datang setelah hujan. Pelangi yang hanya datang sesaat. Aku. sayang. kamu. Aku ingin merubah fakta bahwa pelangi hanya datang sesaat," lanjutnya menundukkan kepala dengan isak tangis. Penuh penekanan di akhir kalimat. Wajahnya ia tangkupkan di kedua tangannya.

"Gue bahagia kenal sama lo. Makasih." Laki-laki itu berlalu meninggalkan gadis itu sendirian dengan senyuman yang tak pudar. Menghiasi wajah tampannya. Padahal laki-laki itu berusaha keras menahan tangisnya.

"Nggak! Kam...-"

"Non. Bangun non. Non Indah," teriak pembantu di rumah Indah—Bi Mina.

Indah mengerjap. Terbangun dari tidurnya.

Ternyata itu hanya mimpi. Tapi seperti nyata.

Tanpa sadar, Indah melamunkan mimpinya yang menangis. Mimpi yang terasa nyata. Sangat nyata.

"Non Indah? gak apa-apa, 'kan?" tanya bi Mina cemas.

Indah mengerjap lagi. "Eh, iya, Bi. Gak apa-apa," jawab Indah.

"Ya udah. Kalau gitu Bibi ke sana dulu."

Hanya anggukan sebagai balasan Indah.

Mimpi itu benar-benar membuat Indah menangis.

Rintihan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang