UKS

39.3K 955 12
                                    

Kasih tahu kalo ada typo!

***

"Ris, mana buku PPKN gue? Mau lanjut ngerjain, nih."

Clarisa yang baru saja datang hanya bisa geleng-geleng. Ia kemudian menyerahkan buku milik Cika ke sang pemilik. Ia kemudian mengambil topi karena hari ini memanglah hari senin. Setelahnya ia melangkah menuju depan dan duduk di lantai. Matanya tertuju pada Cika yang tampak masih fokus pada pekerjaannya yang belum selesai.

"Lo kayaknya pucet deh, Ris."

Clarisa menoleh lalu tersenyum, ia mempersilakan Abraham untuk duduk di sampingnya. "Gue emang baru sakit, masih bindeng kan suara gue?"

Abraham mengangguk kemudian mengecek suhu tubuh Clarisa. "Masih anget lo, mending nggak usah upacara, deh. Kambuh nanti."

Gelenganlah yang Abraham dapat dari Clarisa. Cowok itu hanya diam kemudian mengacak rambut Clarisa yang saat itu tengah digerai. Cowok itu lalu mengenakan topi kemudian bangkit dan menatap Clarisa yang tengah mendongak untuk menatapnya.

"Gue keluar dulu sama yang lain, lo mau keluar sekarang atau nanti, udah mau upacara juga."

Clarisa bangkit dan menatap Abraham sebelum pada akhirnya ia mengangguk. "Boleh, deh. Bentar, ya? Gue mau ngomong sama Cika dulu."

Setelah mendapatkan anggukan dari Abraham, Clarisa segera melangkah mendekati sahabatnya itu. "Gue duluan ya, Cik? Lo nyusul aja nanti sama siapa gitu. Udah mau upacara juga, gue mau cari tempat yang teduh, biar nggak kepanasan."

Cika berdecak kemudian menutup semua alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Setelahnya ia bangkit dan mengambil topi lalu memeluk lengan Clarisa. Ia tidak mau jika tidak bersama dengan sahabatnya itu, ia yang sudah sangat lengket dengan Clarisa semenjak SMP seolah tidak bisa terpisahkan.

"Lo mah ada-ada aja, padahal gue mau sama Abraham."

Cika menggeleng kemudian menatap Clarisa. "Sekali-kali coba deh lo nurut sama calon kakak ipar lo ini."

Clarisa tertawa dengan ucapan dari Cika. Ia kira sahabatnya ini sangatlah percaya diri. Meskipun ia setuju saja jika memang Cika yang akan menjadi kakak iparnya nanti. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya jika Cika dan kakaknya menikah kelak, jelas akan terlihat lucu. Saat ini saja jika Cika dipertemukan dengan Ciko pasti gadis itu akan malu-malu, sedangkan kakaknya tampak biasa saja. Bahkan jika mereka dipertemukan pasti Ciko akan lupa dengan nama Cika.

Setibanya di lapangan upacara, baik Clarisa dan Cika mencari tempat untuk mereka berdua. Namun, bukannya mendapatkan tempat yang cukup teduh, mereka malah seolah dijemur. Meskipun masih pagi, Clarisa sudah merasakan terik matahari yang begitu menyengat kulitnya.

"Panas banget gila, kapan-kapan sekolah kita kasih atap gitu biar kita nggak kepanasan. Coba deh lo lihat, tuh guru-guru kita keenakan bisa di bawah pohon gitu."

Clarisa tertawa, ia lalu mencubit pipi Cika dengan gemas hingga membuat gadis itu meringis kesakitan. "Itu sih mau lo, jangan aneh-aneh deh kalo kita bisa nggak kenapasan."

Tak lama upacara dimulai. Yang tadinya lapangan cukup ramai karena beberapa guru yang berteriak menyuruh anak didiknya untuk pergi ke lapangan kini melaksanakan upacara begitu terdengar cukup tenang. Juga yang tadinya anak laki-laki dan perempuan yang berbincang-bincang santai serta berteriak keras seketika menjadi diam meskipun masih ada beberapa anak yang berbincang dengan berbisik-bisik.

Meskipun upacara baru dimulai, akan tetapi Clarisa dapat merasakan sesuatu yang berbeda di tubuhnya. Ia merasa keringat di tubuhnya seolah semakin banyak keluar. Tubuhnya seolah mengambang, meskipun ia dapat merasakan ada sesuatu yang berat menimpa tubuhnya hingga ia merasa cukup lemas. Kepalanya terasa pusing, sesekali tangannya mengusap keringat yang berada di keningnya.

CLARIO✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang