Kasih tahu kalo ada typo!
***
Rio memijat pelipisnya. Kepalanya kali ini terasa cukup pusing, ini mungkin karena ia kurang beristirahat. Mengurus Clarisa ia kira akan cukup mudah. Ternyata makin Clarisa sembuh, gadis itu malah semakin banyak maunya. Kali ini waktu menunjukkan pukul dua siang. Ia baru saja selesai makan, bukannya pergi ke kamar Clarisa, ia memilih untuk beristirahat di ruang keluarga.
Kini pria itu tengah menonton sebuah acara televisi. Bukan sebuah acara yang yang menyuguhkan kisah cinta. Ia tidak menyukai hal itu. Ia memilih untuk menonton sebuah acara yang menurutnya lebih bermutu. Ia baru menonton sebuah film, FTV, atau sinetron saat ia terpaksa karena mamanya yamg memulai. Untuk papanya sendiri, pria itu lebih menurut saja.
Rio merasakan sofa di sebelahnya bergerak. Ia menoleh dan menatap Clarisa yang tampak datang dan langsung menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Tampak gadis itu sudah tidak terlalu pucat. Tangannya terangkat untuk menyentuh kening Clarisa. Ternyata suhu tubuhnya sudah turun dan sudah cukup stabil. Tidak seperti tadi pagi, suhu gadis itu sangat tinggi sehingga membuat gadis itu sering mengigau mencari keberadaan mamanya.
"Nggak lemes lo turun ke sini?"
Clarisa yang tadinya menutup mata, perlahan matanya terbuka dan menatap Rio. Ia menggeleng kemudian memijat pelipisnya. "Nggak begitu lemes, sih. Cuman masih ada sisa-sisa pusing," jawabnya kemudian memejamkan matanya kembali.
"Itu mungkin gara-gara lo tidur terus."
Clarisa tidak menjawab. Gadis itu memilih untuk diam. Rio yang berada di sebelahnya juga ikut terdiam. Cowok itu tampak kembali menatap televisi yang tadi sempat ia tonton. Ia cukup terkejut dengan Clarisa yang secara tiba-tiba menyandarkan kepalanya di bahu miliknya. Ia terdiam kaku. Belum pernah ia merasa ada hal aneh yang secara tiba-tiba menyerang saat ada gadis yang bersandar ke bahunya. Bahkan memeluk atau hal lainnya ia belum pernah merasakan hal itu.
Saat ini Rio merasa ada hal yang aneh. Merasa nyaman saja dengan tingkah Clarisa yang seharusnya ia akan merasa tidak suka. Bahkan ketika ada pacarnya yang secara tiba-tiba menyentuhnya bukan karena ia yang menginginkan, sudah pasti ia akan merasa risih. Akan tetapi tidak untuk kali ini, ia malah menyukai tindakan dari Clarisa.
"Loh, Clarisa udah turun?"
Clarisa menegakkan tubuhnya dan menatap mama Rio yang datang dengan membawa sepiring kue kering. "Udah kok, Tante. Udah lebih baik. Bosen kalo di kamar terus, jadi turun aja."
Rahma tersenyum kecil kemudian duduk di samping Clarisa. Wanita itu lalu menyentuh kening Clarisa untuk mengetahui suhu tubuh gadis itu. "Suhu tubuh kamu udah turun ternyata. Tadi Tante sempet mikir kalo suhu tubuh kamu masih tinggi, Tante bakalan bawa kamu ke rumah sakit."
"Nggak usah, Tante. Aku biasanya juga begini, kok. Kalo pagi itu emang puncak-puncaknya aku sakit, tapi makin lama pasti makin sembuh. Jadi Tante nggak usah khawatir."
"Syukur kalo gitu. Yaudah, Tante ke dapur lagi, ya? Kuenya dimakan, Tante baru dapet resep, jadi baru nyoba. Di dapur masih ada banyak, masih ada juga yang belum mateng."
Clarisa mengangguk dan menatap mama Rio yang pergi dengan langkah anggun. Matanya lalu tertuju pada kue kering di hadapannya, terlalu menggiurkan untuk tidak dimakan. Tangan kanannya meraih salah satu kue dan mulai memakannya. Untuk proses mencoba, kue ini sudah bisa dikatakan hampir sempurna. Dari rasa hingga tingkat kematangan kue sudah mendekati hasil sempurna.
"Mama lo pinter juga buat kuenya."
Rio yang baru saja mengambil kue langsung menoleh ke Clarisa. "Beliau emang pinter banget soal urusan dapur. Apapun yang berurusan sama dapur, coba lo tanya sama dia, udah pasti bakalan dijawab. Kalo lo sendiri bisa masak apa aja?"
Clarisa terdiam sejenak. Apa Rio tadi bertanya kepadanya mengenai dirinya? Ia jadi kurang yakin untuk menjawab. Bukan karena ia malu atau malah jadi takut dipuji karena kemampuannya, hanya saja Rio bertanya dengan nada bicara tenang. Cowok itu tidak mengejeknya, hanya bertanya saja. Suatu hal aneh menurutnya karena Rio seharian ini tidak mengusilinya.
"Gue bisa masak air, mie instan sama telur ceplok. Bisa dikatakan gue nggak bisa masak."
Hening.
Clarisa kira Rio akan langsung menertawainya karena kemampuan masaknya yang masih dipertanyakan. Ia menatap Rio. Ternyata cowok itu tampak tengah menahan tawa. Ia menatap cowok itu malas. Ia kira cowok itu akan menatapnya iba atau paling tidak memberinya motivasi. Namun, itu tidak terjadi, ia mendengus dan memalingkan wajahnya.
"Lo kalo mau ketawa nggak usah ditahan, nambah buat lo jadi makin jelek."
Baru jeda satu detik setelah Clarisa mengucapkan kalimat itu, seketika tawa Rio meledak. Cowok itu seolah memiliki sesi yang berbeda-beda untuk tertawa. Lebih tepatnya cowok itu akan berhenti beberapa detik sebelum pada akhirnya kembali tertawa. Terhitung sudah tiga kali Rio tertawa. Dari tawa yang cukup keras hingga sedang dan yang terakhir terdengar seperti tawa kecil.
"Udah puas ketawanya?"
Rio mengangguk kemudian mengikuti posisi Clarisa yang bersandar di sandaran sofa. Cowok itu memiringkan kepalanya dan menatap Clarisa yang juga melakukan hal yang sama untuk bisa menatapnya. Ia berdehem sebentar sebelum pada akhirnya ia berucap, "Selama lo pacaran sama banyak cowok, emang nggak ada gitu cowok yang ngungkit kalo lo nggak bisa masak?"
"Nggak ada. Lagipula gue juga bodo amat."
Kening Rio berkerut. "Emang gimana gaya pacaran lo? Nggak saling kenal gitu? Kalo gue mah yang penting hafal sama apa yang dia suka dan yang dia benci, nama panjang sama alamat, sama beberapa hal yang emang penting supaya kejadian yang nggak menyenangkan kejadian. Contohnya sih salah sebut nama pas ketemu. Kalo lo sendiri gimana?"
"Gue nggak ngelakuin itu. Yang penting hafal nama sama kelas berapa. Itu gaya pacaran gue. Lagipula gue kalo pacaran cuman menyandang status doang. Paling banter apa ya kalo pacaran, paling posting foto di Instagram selama beberapa hari terus gue hapus gara-gara gue putusin."
Rio tertawa mendengarnya. "Emang nggak pernah gitu gandengan tangan, pelukan, cium pipi, atau hal lain yang biasa dilakuin sama orang pacaran?"
Clarisa menggeleng. "Nggak, gue nggak ngelakuin hal kayak begitu. Ada sih sekali pas pertama gue pacaran kan pas kelas sepuluh, pacar gue kelas dua belas kalo nggak salah. Waktu itu nggak ada yang jemput gue, jadi gue nebeng dia. Pas sampe rumah dia mau cium pipi gue, ya gue tampar tuh orang. Abis itu gue putusin, sekarang gue nggak tau dia ada di mana. Pacar pertama gue yang kayaknya paling bajingan di antara yang lain. Yang lain mah cuman chat doang, keluar bareng aja nggak. Kan gue kalo cari cowok yang kakak kelas atau sepantaran gitu, yang penting satu sekolah, jadi palingan cuman makan bareng di kantin. Lo sendiri gimana?"
"Gue? Apaan, ya? Kalo gue mah lebih dari itu. Baperin mereka, dialusin banget pokoknya. Gue baperin sampe mereka jadi klepek-klepek sama gue. Selebihnya lo pasti tau gimana gaya orang kalo pacaran, itu melekat pada diri gue. Mungkin awal pacaran pas SMP kelas tujuh waktu itu cuman chat doang, kalo sekarang udah lebih dari itu."
Clarisa tertawa. Ia menatap langit-langit di atasnya yang berwarna putih. Ia jadi hanyut dalam obrolan Rio yang baru sekarang ia ketahui jika cowok itu ternyata cukup nyaman untuk ia ajak bicara. Rasa bencinya dengan cowok itu perlahan mulai pudar. Ia bahkan merasakan ada hal yang berbeda, perasaan hangat menyelimuti dirinya semenjak Rio merawatnya sedari tadi pagi.
***
Vote dan komen. Serta ikut partisipasi sama acara follback yang sampai saat ini aku lakuin. Buat yang nggak mau, kalian bisa follow akun Instagram aku @dicosuuu, jangan lupa like dan komen semua postingannya.
Makasih😊
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARIO✔️
Novela JuvenilFOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA! TAMAT Dulu pernah berjudul: • Playboy Vs Playgirl • QUANDO *** Dia Rio. Laki-laki dengan wajah yang tampan. Perempuan mana yang tidak mau menjadi pacar seorang Rio Mahesa? Pria yang memiliki wajah yang sangat sempurna...