Voli

37.5K 959 17
                                    

Kasih tau kalo ada typo!

***

Clarisa  segera turun dari motor yang dikendarai oleh Rio. Ia kemudian berjalan pergi begitu saja tanpa berbicara pada Rio. Tak lama terdengar suara deru motor yang mendekat hingga sebuah motor bergerak secara perlahan di samping kanannya. Ia melirik sekilas. Pikirannya malah tertuju pada sebuah film yang salah satu adegannya sama seperti saat ini.

"Jangan kelamaan kayak kemarin, gue nggak suka nungguin lo yang lelet itu."

Clarisa melirik sekilas kemudian berhenti melangkah. Rio juga ikut menghentikan motornya dan menatap Clarisa. "Gue nggak salah ngomong, kan? Kemarin lo yang nggak dateng-dateng, kan? Padahal gue udah nunggu hampir satu jam. Lo lelet, gue tinggal."

"Gue nggak percaya, lo pasti bohong sama gue. Lo pasti takut sama Mama lo kalo sampe lo nggak bawa gue pas pulang sekolah."

"Sialan lo."

Clarisa tertawa mendengarnya. Ada rasa senang saat Rio kalah berdebat dengannya. Seolah ada hal yang menggebu-gebu begitu ia berhasil membuat Rio bungkam. Ia memilih untuk berjalan lebih dulu dengan langkah santainya. Namun, langkahnya terhenti dan menatap Rio yang masih tampak belum beranjak dari tempatnya.

"Lo nggak ada niatan jalan?" tanya Clarisa yang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Rio. Cowok itu malah berjalan begitu saja.

Clarisa mengernyit. Ada apa dengan cowok itu? Ia menggeleng pelan untuk menghilangkan pikiran mengenai Rio. Segera saja ia melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Setibanya di sekolah, ia sempat berhenti sejenak untuk melihat ke arah parkiran kelas 11. Sudah tidak ada Rio di sana. Baru saja ia melangkah, secara tiba-tiba pundaknya ditepuk dengan keras hingga membuatnya terkejut.

"Puas lo buat gue kaget?"

Cika menggeleng kemudian tertawa kecil. Ia lalu mencolek pipi Clarisa dan ditepis kasar oleh sahabatnya itu. "Gitu aja marah. Jangan marah, nanti dipeluk sama Rio tau rasa lo."

Clarisa melirik sinis ke arah Cika yang hanya dibalas oleh kekehan kecil. Ia memutar bola matanya malas dan melangkah lebih cepat. Di belakang, ia yakin jika kini Cika tengah berjalan lebih cepat untuk menyusul langkahnya. Saat ia akan masuk kelas, hampir saja ia bertabrakan dengan Abraham. Ia menghela napas kemudian memberi jalan untuk cowok itu berjalan lebih dulu, sebenarnya pintu masuk ke  kelas cukup lebar, hanya saja ia memilih untuk memberi jalan Abraham. Baru setelahnya ia masuk ke kelas diikuti Cika.

Clarisa duduk di bangkunya dan menaruh tasnya di atas meja. Ia menyangga kepalanya dengan tangan kiri. Matanya menatap malas ke arah papan tulis seolah tidak ada niat. Tak lama kemudian ia menegakkan tubuhnya dan mengambil ponsel dari dalam tas. Sekitar dua puluh menit lagi bel masuk akan berbunyi, dan seketika itu pula ia jadi teringat akan satu hal, suatu hal menurutnya menjadi masalah dalam hidup.

"Cik, nanti ada penilaian voli, ya?"

Cika yang tadi tampak akan tertidur memilih untuk menegakkan tubuhnya kemudian mengangguk dengan menguap lebar. "Kata Pak Yudha minggu lalu gitu, doa aja moga dia lupa. Gue nggak bisa servis atas sama bawah, sering melenceng tau, kan nyebelin."

"Kalo gue malah semuanya nggak bisa, cuman teorinya aja yang gue bisa."

Cika tertawa kemudian menceritakan kisahnya yang sedari kecil tidak menyukai voli. Permainan bola besar sedari dulu ia tidak bisa, jika ia diberikan lari, permainan bola kecil dan jungkir balik sekalipun, ia masih bisa. Ia sendiri jadi heran, basket saja hanya bisa dribble, jika ia disuruh memasukkan bola itu ke ring, pasti akan memantul dan sering dalam hatinya ia mengumpat kasar.

CLARIO✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang