Perasaan

38.8K 976 9
                                    

Kasih tahu kalo ada typo!

***

Clarisa berjalan menuju kelasnya. Ia tidak banyak bicara selama di perjalanan tadi bersama Rio. Yang pasti, ia lebih memilih untuk bungkam. Suasana di antaranya dan Rio seolah mencekam. Rio juga memilih untuk diam. Meskipun terasa begitu sunyi dalam waktu yang terbilang cukup lama, Clarisa tidak cukup masalah. Ia bahkan merasa lebih tenang daripada harus mendengarkan ucapan Rio yang akan menyakiti hatinya, lagi. Meskipun dalam hati terdalamnya menginginkan suara Rio yang ditujukan kepadanya, meskipun hanya singkat.

Setibanya di kelas, Clarisa melihat beberapa anak yang telah datang. Matanya tertuju pada seorang siswa yang tampak memainkan sebuah game di ponsel. Ia melangkah mendekat menghampiri cowok itu, bahkan ia juga sempat mengabaikan panggilan dari Cika. Mengambil tempat di samping cowok itu adalah keputusannya, dengan gerakan cepat tangannya mengambil benda pipih yang sedari tadi dimainkan hingga tidak menyadari kehadirannya.

"Luka lo harus diobati, bonyok banget, nih. Lebih parah dari punya Rio lagi."

Abraham menatap Clarisa yang tampak khawatir kepadanya. "Tadi malem udah gue kompres, udah lebih mendingan, tapi lo nggak papa, kan?"

Clarisa menggeleng kemudian meraih tangan Abraham dan menyeret cowok itu. Abraham yang diperlakukan seperti itu hanya bisa tertawa kecil dan menurut saja. Keduanya melangkah menuju UKS, Clarisa merasa tidak percaya dengan luka milik Abraham yang sudah diobati. Bukannya berburuk sangka, akan tetapi biasanya laki-laki akan mengesampingkan masalah luka.Namun, tidak untuk Rio dan beberapa orang di luar sana yang seolah masih cinta diri sendiri.

Setibanya di UKS, Clarisa meminta ke seorang petugas untuk mengambilkan kotak P3K. Setelah ia mendapatkannya, ia menyeret Abraham untuk duduk di bangku panjang yang kebetulan kosong yang terletak di pojok UKS. Clarisa menatap luka di wajah Abraham, terdapat lebam yang berada di pipi kiri, sudut bibir bagian kanan dan luka di pelipis. Luka itu terlihat lebih parah dari milik Rio, dan mungkin terasa sangat sakit.

"Lo bohong. Lihat, luka lo bahkan kayak belum diobatin," ucapnya dan menaruh ponsel Abraham di atas paha sang pemilik.

Abraham tertawa kemudian mendorong pelan kepala Clarisa. "Sok tau, emang situ peramal? Mending lo obatin aja bonyok gue daripada kita telat masuk kelas."

Clarisa mencebik, akan tetapi tangannya dengan cekatan mengobati luka milik Abraham dengan perlahan. Ia harus ekstra hati-hati daripada kejadian tadi malam terulang. Dimana ia harus dimarahi hanya karena terlalu kasar. Mengingat kejadian itu membuatnya kesal sendiri. Bahkan tanpa sadar ia memencet luka milik Abraham hingga membuat cowok itu meringis kesakitan.

"Aduh maaf, nggak sengaja. Nggak konsentrasi tadi, tapi yang tadi gue pencet nggak sakit banget, kan?"

Abraham tersenyum menenangkan. Clarisa akui jika senyum itu terlalu damai dan begitu menghanyutkan. Jangan kalian simpulkan jika Clarisa suka dengan Abraham, ia hanya senang dengan senyum milik cowok itu. Begitu hangat dan tulus, mirip dengan senyum papanya. Sedari awal ia bertemu dengan Abraham, seringkali ia menyamakan senyum itu dengan senyuman milik papanya, sangat mirip.

"Nggak sakit banget, kok. Tenang aja."

Clarisa tersenyum dan kembali fokus untuk mengobati luka milik Abraham yang tinggal sedikit lagi selesai ia obati. Setelah selesai, Clarisa segera bangkit dan membereskan semua peralatannya dan menaruhnya kembali di tempat semula. Ia lalu bangkit dan mengembalikan kotak P3K ke petugas UKS yang kebetulan hari ini tengah berjaga.

"Balik ke kelas, Ris. Bentar lagi masuk."

Clarisa menoleh lalu mengangguk. Keduanya lantas berjalan bersama secara beriringan menuju kelas. Clarisa mendongak menatap Abraham yang tampak diam dengan terus fokus ke jalan. "Makasih ya Ham udah nyelamatin gue tadi malem. Kalo nggak ada lo, pasti gue bakalan kenapa-napa. Dan maaf, gara-gara gue, lo jadi luka-luka kayak gitu."

CLARIO✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang