Perasaan

31.8K 804 39
                                    

Kasih tahu kalo ada typo!

***

Clarisa meremas beberapa kertas yang berisikan kalimat kasar yang menghina dirinya. Bukan hanya satu atau dua, kertas ini lebih dari sepuluh lembar dengan tulisan yang berbeda-beda. Ia merasakan matanya yang memanas. Tak lama, air mata yang ia usahakan untuk tidak keluar itu turun dengan derasnya. Segera ia menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangan. Ini masih terlalu pagi untuk ia merasakan hal yang cukup menyakitkan seperti ini.

Hari ini Clarisa sengaja berangkat lebih pagi. Bahkan, ia harus ekstra berusaha untuk meluluhkan hati kedua orang tuanya demi berangkat pagi meski di pagi hari yang cerah ini harus ia awali dengan kebohongan. Ia berucap jika ia akan menyelesaikan kerja kelompoknya yang belum selesai bersama teman-temannya, ditambah ia belum melaksanakan piket. Hingga mau tak mau kedua orang tua Clarisa menyetujui permintaan putrinya tersebut. Bukan tanpa alasan ia melakukan hal ini, ia berusaha untuk menghindari celaan dari teman-temannya. Namun apalah daya, di pagi ini ia sudah mendapatkan hinaan walaupun menggunakan media kertas.

Dengan langkah gontai, Clarisa berjalan keluar kelas guna membuang kertas berisi kalimat yang menghina dirinya tersebut setelah ia merasa sedikit membaik. Saat ia akan berjalan masuk, ia mendapati Abraham yang kini berjarak tidak jauh. Cowok itu berjalan menghampirinya dengan memasang senyum hangat. Baru saja ia akan berucap, Abraham lebih dulu menyela dengan memberikan sebuah kotak makanan, ia sama sekali tidak menyadari akan hal ini. Kini dahinya berkerut, tanda jika ia tengah kebingungan, akan tetapi, ia tetap menerima barang yang diberikan oleh temannya itu.

"Ini apaan?" tanya Clarisa dengan memasang raut wajah kebingungan.

Abraham menggaruk leher belakangnya. "Kemarin gue denger omongan lo sama Cika kalo lo bakalan berangkat lebih pagi. Niatnya sih ikut-ikutan berangkat pagi. Pas mau berangkat, gue inget kalo bisa aja lo belum sarapan. Jadi gue bawain bekal, isinya sih cuman roti selai kacang, gue harap sih lo mau makan."

Mata Clarisa berbinar. Memang, demi berangkat pagi ke sekolah, Clarisa harus merelakan tidak sarapan karena masakan mamanya belum siap. Apalagi kemarin ia sempat lupa memberi tahu mamanya jika harus berangkat pagi. Baru saja tadi pagi kedua orang tuanya mengetahui niatnya dan menghasilkan amukan marah mamanya karena sudah dapat dipastikan jika papanya akan ikut terlibat. Sudah barang tentu jika papanyalah yang akan mengantarkan dirinya sekolah, meskipun kadang mamanya yang mengantar dengan syarat masakan sudah selesai.

"Yaudah, sana masuk kelas, jangan cuman dilihat aja rotinya, nggak bakalan buat lo kenyang."

Clarisa terkekeh pelan. Ia kemudian mengangguk dan menarik tangan Abraham untuk mengikuti langkahnya. Ia menempatkan bokongnya di bangku miliknya, diikuti oleh Abraham yang mengambil tempat di bangku Cika. Segera saja ia membuka penutup kotak makan sehingga menampilkan dua potong roti selai kacang. Tangannya terulur untuk mengambil satu roti lalu menyerahkannya ke Abraham.

"Kok lo ngasih rotinya ke gue?"

Clarisa berdecak pelan. "Lo juga harus makan, dong. Lo juga pasti belum sempat sarapan, kan?"

Abraham tersenyum. Jangan tanya seberapa besar tingkat kesenangannya saat ini, yang jelas kini ia tidak bisa menahan senyum kebahagiaannya. Ia hanya berpikir jika Clarisa akan memakannya sudah membuatnya senang, tapi nyatanya sekarang Clarisa malah mau berbagi makanan kepadanya. Sikap seperti inilah yang membuatnya jatuh cinta kepada Clarisa. Gadis itu masih peduli dengan sekitarnya, dan yang terpenting, gadis itulah yang membuat dirinya tersenyum walau hanya menatapnya saja.

"Lo emang yang terbaik emang," ujar Abraham lalu mengusap kepala Clarisa pelan.

"Emang, dari dulu kan gue baik. Lo aja kali yang belum nyadar," jawab Clarisa kemudian terkekeh pelan.

CLARIO✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang