16) Ayah, Maafkan Aku

206 42 3
                                    

Tidak jauh kami berjalan, Ayah dan Aku akhirnya berhenti di sebuah ruangan yang ditemboknya terpajang penuh dokumen berbentuk buku.

Dia mempersilahkanku masuk terlebih dahulu, memperlakukanku layaknya anak kesayangan. "Masuklah," katanya.

Aku memasuki ruangan dingin yang terlihat sangatlah nyaman itu.

"Kita dimana?" Tanyaku pada Ayah.

"Ini ruangan kerja Ayah." Jawabnya.

"Ayah ingin membicarakan sesuatu padamu," lanjutnya sambil menutup pintu.

"Iyaa?"

"Kau kenal gadis itu?" Pertanyaannya seolah terdengar tidak suka kepada Mina.

"Kenapa bilang begitu? Tentu saja aku kenal, dia Mina."

"Dia," ucapnya dengan gugup. Tidak biasanya aku melihat Ayahku bicara seperti itu.

"Apa dia sakit parah?"

"Sepertinya Ayah mengenalnya," belum selesai Ayah bicara, langsung kupotong dengan hembusan nafas lega.

"Ohh, tentu saja. Ayah pasti mengenalnya, dia sedang naik daun sekarang. Dia anggota TWICE."

"Bukan itu yang Ayah maksud. Wajahnya sangatlah tidak asing, rasanya seperti sedang berjumpa sahabat lama."

"Maksud Ayah, Mina adalah orang dekat Ayah begitu? Sejak kapan? Dan yang aku tahu, nggak ada persahabatan yang terpaut umur sangat jauh. Mina hanyalah idol K-pop, Yah. Dan sebelum memulai debutnya sebagai artis, Mina tinggal di Jepang bukan disini. Mana mungkin kalian sedekat itu, buat aku cemburu aja." Ucapku diselingi tawa.

"Ayah sedang serius, bukan becandaan. Dan tentang dia yang menjadi anggota apalah itu, Ayah nggak pernah peduli, dan nggak mau tahu."

"Iya aku juga nggak nganggep ini candaan kok." ucapku mulai bicara santai pada Ayah.

"Dia pengonsumsi narkoba, namun belum kecanduan. Ayah telah memeriksanya tadi. Syukurlah dokter lain tidak menyadari itu. Dan satu hal yang buat Ayah penasaran, dia seperti tidak asing." Ucap Ayahku menyadari kondisi Mina.

"Iya, aku tau itu. Aku baru tahu kalau dia mengonsumsi narkoba, sama sepertiku dulu."

Dengan kalimat yang ku ucapkan, pembicaraan kami mendadak berganti objek. Aku berhasil membuat Ayah mengalihkan segala pembicaraan mengenai Mina.

"Kalau temanmu itu tidak bilang ke Ayah, Ayah juga nggak akan tau kalau kamu mengonsumsi narkoba. Dan kalau bukan karena dia mungkin kamu akan menjadi pecandu berat sekarang."

"Siapa? Siapa yang beri tahu itu? Kenapa nggak pernah cerita sebelumnya? Bukankah Ayah tahu karena menemukan itu di kamarku?"

"Kamu percaya itu?"

"Tentu saja," ucapku semakin bingung dengan apa yang dikatakan Ayah.

"Tapi, aku-kan nggak pernah ngonsumsi itu di rumah. Aku baru ingat sekarang."

"Bodoh!" Kata Ayahku membuatku senyum setelah sekian lama.

"Ayah nggak marah?" Tanyaku padanya.

"Kalau saat ini kamu masih melanjutkan itu, aku pasti tidak akan mengakuimu anakku sekarang." Ucapnya.

"Bukan itu yang kumaksud. Ayah nggak marah lagi, aku pergi ninggalin Ayah selama bertahun-tahun. Aku nggak nurutin apa yang Ayah mau, dan selalu menentang perintah Ayah."

"Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu." Ucapnya membuatku terharu.

"Maafkan aku," ucapku padanya.

Kalimat yang belum pernah aku ucapkan kepada orang yang telah merawatku sejak kecil hingga sekarang, orang yang sangat aku sayangi melebihi siapapun. Sejak Ibu meninggal, Harapanku untuk hidup bahagia saat itu telah musnah dan membuatku sangatlah putus asa, hingga akhirnya aku menjadi seorang anak yang liar. Aku mengabaikan bermacam kalimat yang kudengar saat itu, rasanya seperti ragaku telah ikut bersama Ibu. Jiwaku telah hanyut, larut bersama kesedihan yang sangat mendalam.

...

For A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang