50) Terimakasih Tuhan

170 14 0
                                    

"Kamu anak Ibu, aku anak Ibu, Mina juga anak Ibu. Tapi Ayah kita beda."

"Dasar pelacur!"

"Jaga mulutnya!"

Mungkin Ibu memanglah wanita pelacur, seperti yang Lisa katakan. Tapi apa salah Ibu juga, kalau anaknya bisa saling sayang.

Ini adalah takdir. Tuhan hanya memberi takdir, dan manusialah yang menjalankannya.

"Emang benerkan! Ibu punya kita, dengan lelaki yang beda-beda. Terus itu sebutannya apa? Dia nggak sadar, karena kesalahannya kita semua jadi korban."

"Ini bukan salah Ibu. Kamu mikir aja, kalau kamu ada di posisinya dulu. Kamu sayang ke Suga terus kalian punya anak, lalu kamu sayang ke lelaki lain terus kamu juga punya anak dari dia. Gimana perasaanmu?"

"Kenapa jadi bawa-bawa Suga? Bandingin Ibu ke aku lagi. Ya bedalah. Itu tergantung sikap pribadi kita. Kamu nggak bisa nyontohin ke aku. Kamu bandingin aja ke Mina, itu baru pas."

"Heh! Nggak usah ngubah suasana. Lagi males ribut."

"Kenapa ribet banget sih hidup itu. Jangan bilang Ayah juga bukan Ayah kandung aku. Konyol banget!"

Mendengar kata konyol keluar dari mulutnya, aku sadar, konyol banget emang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendengar kata konyol keluar dari mulutnya, aku sadar, konyol banget emang. Perasaan kehidupan orang lain nggak seribet ini. Apa emang karena tuhan, atau karena diri sendiri.

"Gini ya, dengerin aku." Ucap Lisa.

Aku-pun terdiam, hingga suasana menjadi hening, lalu Lisa melanjutkan bicaranya.

"Takdir, emang udah diatur sama tuhan. Tuhan udah ngerencanain tuh gimana kehidupan kita kedepannya. Bakalan indah atau nggak, dan itu di ending, di akhirnya aja. Nah jalan hidupnya gimana, kita sendiri yang ngejalanin. Kita sendiri loh yang buat jalan itu jadi susah."

Masih fokus menyetir, aku-pun menjawab narasinya itu. "Ya, terus!"

"Kamu mau, hidup kamu berantakan seperti sekarang?"

"Ya nggaklah." Jawabku.

"Yaudah, kamu bilang sekarang ke perempuan itu, apa yang sebenarnya terjadi."

"Buat apa? Suasana udah mulai tenang kok. Nggak usah digegerin lagi."

"Yaudah itu mah terserah kamu. Aku cuma nasehatin aja. Jangan sampe nanti kamu nyesel, kayak Ibu sekarang."

"Aku mau ngungkapin yang sebenarnya-pun, udah telat. Nggak akan ngubah apapun. Kalaupun emang baik untukku kedepannya, Mina tetep aja terluka. Fakta bahwa kita adalah saudara kandung nggak akan bisa diubah."

"Kenapa yang kamu pikirin cuma perasaan Mina. Kamu nggak pikirin perasaan kamu? Goblok banget!"

Lisa yang masih duduk dengan tenang disebelahku, melanjutkan ucapannya. "Kamu tahu nggak sih, penyesalan itu rasanya gimana? Sakit."

"Kayak kamu pernah ngerasain aja."

"Dulu kita nggak sedekat kakak beradik lain. Kita dulu musuh."

HAHAA

Aku tertawa kecil mendengar Lisa mengatakan itu.

"Apa kamu tahu, sejak aku masih sekolah, aku punya perasaan ke temen aku sendiri. Aku bingung gimana ngendaliin perasaanku. Sampe aku jadi cuek banget ke dia. Dan yang buat aku terkejut banget, ternyata dia juga suka sama aku."

Aku mulai tertarik dengan cerita dari wanita disebelahku ini. "Terus?"

"Temen lain aku sih yang bilang, si dia nggak pernah bilang kalo dia sayang. Tapi gelagak sikapnya keliatan banget. Entah ngapa dia nggak mau nyatain aja perasaannya ke aku, kalo emang dia suka."

"Pengecut dong dia."

"Nggak jauh bedalah." Katanya.

"Maksudnya? Bandingin ke aku?"

"Iyalah."

HAHAA

Aku tertawa lagi mendengar celotehan yang keluar dari adik tiriku ini.

Sebelumnya nggak pernah aku ngobrol setenang ini sama dia. Yang ada dipikirkanku dulu hanyalah amarah. Bahkan untuk menyapamu aja nggak pernah aku pikirin. Tapi sekarang, kita ngobrol. Seru sih. Kenapa nggak dari dulu aja ya. Tau gini kan nggak akan ribet.

Bener katamu, kita sendirilah yang buat jalan hidup kita jadi susah.

"Terus yang kamu ceritain itu, apa hubungannya sama penyesalan?" Lanjutku.

"Hah?"

Lisa sedikit terkejut dengan pertanyaanku. Hal itu membuatku tertawa lagi, makin terbahak-bahak.

HAHAAHAAAA

"Aneh deh!" Kataku.

"Aku belum selesai ceritanya." Ucapnya.

"Yaudah lanjutin, aku dengerin."

"Suga itu bingungin orangnya. Aku nggak tahu saat itu, dia beneran punya perasaan suka atau nggak sama aku. Aku nggak bisa percaya gitu aja, sama omongan temen. Jadi yaudah, pas perpisahan sekolah, kita ..."

Belum selesai dia menjelaskan masa lalunya, aku menjedanya langsung. "Oh, jadi orang yang kamu ceritain itu Suga. Lanjut!"

Aku nggak pernah tahu tentang kehidupan pribadi saudara tiriku ini. Saat dia ceritain masa lalunya, aku bisa mendengarkan sekarang.

"Kita nggak ketemu lagi sejak itu. Terakhir ketemu, belum lama ini, di jalan deket rumah. Saat itu dia nggak tahu aku, nggak ngenalin aku. Tapi dia, siapa sih yang nggak ngenalin dia. Bahkan dengan masker diwajahnya-pun orang-orang juga pasti tahu siapa dia."

"Ngapain Suga sampe sana? Apa dia mau nyari aku? Apa dia tahu kalo kita saudara?"

"Suga kesana cuma mau cari tau tentang panti asuhan tempat wanita yang ia sayangi itu tinggal."

"Siapa? Mina?"

"Iyalah."

"Segitunya perjuangan bocah itu."

"Suga punya alasan ngelakuin itu. Demi cinta, dia bisa berjuang. Meski cintanya cuma sepihak."

"Ah, gaya bahasamu tinggi amat. Seharusnya kamu pikirin gimana perasaanmu ke Suga. Bukan malah ngerelain Suga untuk wanita lain. Dan ternyata wanita itu nggak sepenuhnya sayang ke Suga."

"Wanita itu cintanya ke kakak. Mina sayang tulus sama kakak. Jangan buat cerita ini nggak berujung. Aku udah ikhlas, dan mungkin Suga juga udah ngiklasin dia. Tapi kenapa yang diberi keikhlasan itu begok banget."

"Lo ngatain saudara Lo sendiri begok?"

"Jungkook sayang, bilang ke Mina, kalo persaudaraan ini emang nyata, dan cinta yang kakak punya juga nyata. Bilang ke dia, apa yang sebenernya terjadi, biar nanti nggak nyesel. Perjalanan kita masih panjang. Hidup kita nggak akan berhenti, cuma karena cinta yang rumit kayak gini. Toh nanti juga bakalan lupa. Nggak mungkin nggak. Tuhan sayang sama kita. Tuhan punya takdir yang indah, melebihi harapan kita. Kita emang pengennya gini, tapi gini itu nggak boleh. Nanti tunggu aja, nanti akan ada puncaknya. Sekarang kita udahin aja ya."

"Aku juga nggak mau ini jadi tambah rumit. Aku mau nyelesaiin ini, tapi masih bingung. Aku juga punya perasaan, aku nggak mau ada yang kecewa nanti. Tapi gimana lagi, udah terlanjur jadi begini."

"Ah, pusing amat. Udah sana cari Mina."

"Aku udah janji sama Ayah, kita harus pergi sekarang juga. Penerbangannya sebentar lagi."

"Ayah tetep akan pergi, aku juga. Tapi kakak selesaiin dulu masalah ini. Lisa mohon kak."

Aku terdiam cukup lama.

...

For A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang