49) Drama Mainan

151 15 1
                                    

"Lisa ingin nangis, Ayah. Lisa nggak kuat, Lisa nggak tahan lihat ini. Aku belum sempat ngucapin kalimat yang manis untuk Jungkook, aku juga belum sempat bersikap baik ke dia, tapi dia udah nggak ada."

"Apa kamu yakin nangis karena itu?"

"Maksud Ayah apa? Tentu aja aku sedih karena Jungkook."

"Bukan karena lelaki itukan?"

"Lelaki siapa?"

"Suga,"

Aku menengok kesana-kemari, melihat sekelilingku.

"Kenapa jadi ngomongin Suga? "

"Kamu cemburu, Suga lebih perhatian ke Mina daripada kamu?"

"Ayah ini kenapa sih? Siapa juga yang cemburu."

"Kamu relain Suga untuk Mina?"

Ayah bicara seperti ini, pasti dia ada disekitar sini sekarang. Nggak mungkin nggak.

"Siapa yang ngerelain Suga sih? Ya biarin aja kalo dia emang pedulinya sama Mina." Ucapku pada Ayah, masih lewat telepon.

"Nggak usah goblok ya. Dia itukan pacar kamu Lisa." Ucap Ayah.

"Nggak usah nyinggung Lisa."

"Ya seenggaknya-kan dulu kalian pernah deket. Dan mungkin sekarang kalian saling sayang. Terus kamu biarin aja gitu, si Suga direbut wanita itu? Cukup Jungkook aja yang dia ambil, Suga jangan."

"Kenapa jadi ayah yang ngatur."

"Ayah nggak ngatur, Ayah cuma nasehatin kamu aja."

"Iya ayah makasih, tapi itu nggak perlu. Aku sama Suga nggak sedeket dulu lagi. Sekarang kita beda. Kalau sekarang dia emang pedulinya ke Mina, ya udah. Aku mah enggak peduli lagi. Aku udah lelah Ayah. Dari dulu aku sayang ke dia, tapi Suga nggak peduli, itu buat apa. Cinta nggak bisa dipaksain, Yah."

"Yaudahlah, itu semua udah ada yang ngatur. Kalo kamu nggak kuat lihat mereka, pulang aja. Ayah udah pesen tiket penerbangan untuk kita malam ini juga."

"Mendadak! Kenapa? Mau kemana kita? Liburan?"

"Ayah mau kita lupakan semua yang udah terjadi. Kita mulai lagi dari awal. Mencari hidup yang lebih baik, lebih bersahabat dengan kita. Lupakan tentang mimpi besar ayah, pendam juga mimpi buruk kamu. Kita pergi nanti malam."

TUT.. TUT..

Ayah langsung menutup panggilan.

Aku melangkahkan kaki, pergi meninggalkan rumah sakit ini. Tepat di pinggir jalan, aku menghentikan langkahku. Aku melambai-lambaikan tangan, mencoba menghentikan taxi yang terlihat dari jauh.

Iya, inilah saat yang tepat untukku memendam semuanya. Mengubur luka, menghapus benci, menimbun amarah, dan menenggelamkan ego. Selamat tinggal kota kelahiranku. Aku kini akan menetap ke negara orang.

"Taxi.."

Sudah ada penumpang.

Susah memang cari mobil taksi di cuaca seperti ini. Pasti di dalamnya sudah ke isi orang lain.

Lebih baik aku menunggu sambil duduk.

Hari semakin petang, tapi nggak juga ada taxi kosong yang melintas.

"Astaga Lisa, biasanya juga kamu pulang naik bus. Ngapain sekarang nungguin taxi." Ucapku sendiri.

Aku-pun berdiri, lalu berjalan menuju ke tempat halte bus terdekat.

Tiba-tiba Ayah menelpon.

"Kamu dimana? Kamu ikut pergikan?" Ucap ayah.

"Iya yah, aku ikut."

For A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang