41) Cerita Ibu

178 18 0
                                    

Aku nggak pernah peduli apa yang terjadi pada diriku. Mau sesakit apa aku merasakan penderitaan, asal mereka yang bersamaku baik-baik saja, aku sudah bahagia.

Memang aku menginginkan hidup dalam sebuah keluarga, namun takdir tidak bisa dihindari. Aku tidak akan pernah bisa menggantikan sebuah takdir.

Siapa bilang aku sedih? Aku bahagia. Bahkan bahagia sekali.
Aku bahagia dengan keadaanku saat ini, aku sudah mulai menerima sebuah takdir. Takdir yang dulu selalu ku anggap pahit ini.

"Iya Bi, Mina paham apa yang bibi rasain. Bibi ceritain semuanya ke Mina aja, Mina udah seneng."

"Kamu anak yang baik Mina."

ANAK YANG BAIK
Kalimat itu sedikit menyindirku, namun berasa menenangkan. Anak yang baik tidak akan pernah berani melakukan perbuatan tercela. Tapi aku, dengan santainya menganggap tercela itu adalah hal yang biasa.

Aku meluapkan semua masalah pribadiku, yang tidak bisa ku ceritakan kepada siapapun, hanya kepadanya. Dia penenang ku, obat penatku. Dia adalah narkoba.
Kata 'baik' sangat tidak cocok untuk menggambarkan ku. Aku benci kata itu, tapi aku suka, dan aku ingin.

"Maafin bibi ya, jadi ngerepotin." Ucapnya padaku.

"Nggak kok, aku malah seneng ada bibi disini."

"Mina, apa kamu masih ada rasa ke jungkook?"

"Kenapa tiba-tiba nanyain itu?"

"Apa Jungkook juga masih sayang sama kamu?"

"Aku nggak peduli tentang itu lagi. Rasa sayangku ke anak bibi udah aku buang jauh-jauh."

"Yakin bisa ngebuang itu?"

"Nggak tahu juga, sayang ke anak bibi itu nyakit."

"Daripada kamu tambah terluka, mending kamu lupain dia dari sekarang. Kalo emang maumu adalah ngebuang perasaan itu, Mina."

"Iya bi, tenang aja. Aku tahu kok, bibi juga nggak suka kan aku sama Jungkook."

"Bibi lakuin itu, bukannya nggak suka sama kamu atau apa, tapi bibi cuma nggak mau kamu terluka. Percaya aja, cinta itu emang dibutuhin, tapi cinta itu juga bisa nyakitin."

"Maaf ya bi, jujur dari dulu sampai sekarang, aku nyaman banget ada di deket bibi. Aku udah nganggep bibi itu seperti Mama aku sendiri. Aku sama sekali nggak marah, bibi nggak suka aku pacaran sama Jungkook dulu. Aku tetep aja maksain untuk terus bareng sama dia, meski bibi selalu aja ngelarang. Sekarang aku udah mulai lupain dia kok, tenang aja. Aku nggak mau mikirin tentang cinta lagi. Nyakitin banget, bi."

"Mina, kamu sayang ke siapapun boleh, tapi jangan terlalu dalem. Nanti kalo sakit susah nyembuhinnya."

"Waktu aku pergi ninggalin panti dulu itu, aku berasa kayak udah nggak berarti lagi bi. Aku merasa hidup seorang diri. Aku ninggalin Jungkook, demi keluarga kalian. Aku nggak mau, hanya karena aku, keluarga kalian ancur."

"Tapi nyatanya keluarga kita udah ancur. Keluarga ini emang nggak layak di perjuangin."

"Kenapa ngomong gitu sih?"

"Bukannya bibi nggak mau lagi merjuangin keluarga kita, tapi masalahnya udah terlanjur rumit Mina."

Wanita yang kusayangi, dia juga menyayangiku, namun dia tetap tidak menginkan aku ada disamping anaknya, Jungkook. Entah apa yang membuatnya menyangkal hubungan kami, andai kalian tidak melarang, mungkin aku dan Jungkook masih bersama sampai sekarang.
Tapi ya sudahlah, itu semua sudah terjadi. Mengungkit masalah tidak akan menyelesaikan apapun. Justru itu hanya akan menambah beban saja.

Bibi ada di apartemenku sekarang, mulai saat ini dia akan tinggal bersamaku. Menjadi teman hidupku.
Dia telah menceritakan semuanya padaku. Tentang perceraiannya, juga kehidupannya setelah bercerai.

Aku nggak nyangka lelaki itu bisa setega ini kepada bibi. Kebohongannya demi apa? Untuk apa?

Yang Jungkook tahu, ibunya telah pergi bersama lelaki lain. Tapi nyatanya tidak. Bibi hidup sendiri, tanpa siapapun di sisinya.
...

For A DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang