Alunan murottal dari Syeikh Mishary Rashid Al-'Afasy memenuhi segenap ruangan apartemen Rehan. Dirinya sendiri baru saja pulang dari masjid untuk menunaikan sholat subuh berjamaah. Rutinitas pagi Rehan sama seperti biasanya. Selepas sholat subuh dirinya akan mulai beraktifitas di dapur, walaupun itu sekedar membuat sarapan. Tinggal sendirian membuatnya mau tidak mau menyiapkan segala keperluannya sendiri. Terbiasa sejak kecil untuk membersihkan kamarnya, Rehan pun sangat terampil dalam urusan menata dan membersihkan apartemennya. Kalau sudah begini, bukankah beruntung jika menjadi istrinya Rehan? Ah, Rehan saja selalu berpikir ada tidak ya perempuan yang mau menikah dengannya.
Sembari mendengar murottal yang menemani paginya, Rehan lalu segera mandi selepas sarapan. Setelah tinggal di apartemen sendiri dia memang sengaja mandi selesai sarapan. Menurut Rehan kalau dia harus sarapan dulu, nanti pakaiannya akan kotor lagi karena dia harus masak dulu untuk sarapan. Resiko hidup sendiri. Inilah yang kemudian membuat Rehan benar-benar ingin segera menikah.
Tiba-tiba Rehan teringat dengan ucapan mamanya. Permintaan mamanya masih sama dengan sebulan yang lalu. Rehan segera menikah. Padahal adiknya sendiri akan segera menikah dan kalau pun alasan mamanya ingin segera menimang cucu maka itu bukanlah alasan yang genting, karena adiknya, Gio sudah diamanahkan menjadi seorang ayah. Bahkan sebentar lagi Tirta juga akan segera menikah. Hanya dirinya dan Tara yang belum.
Tidak hanya tantenya, mamanya pun sudah berusaha mencarikan gadis yang akan mereka jodohkan dengan Rehan. Hanya saja, Rehan belum bisa memenuhi keinginan sang mama. Pernikahan Tirta yang akan terjadi sebentar lagi juga akan membuatnya untuk segera pulang. Kepulangannya nanti sudah dipastikan Rehan akan diungkit tentang permasalahan kapan dirinya menikah. Terkadang Rehan berpikir, apakah mencari jodoh itu semudah mencari jeruk di penjual buah? Sehingga semuanya begitu membrondongnya kapan akan menikah.
Parahnya lagi, para sahabatnya pun tidak segan-segan memperkenalkan dirinya dengan perempuan kenalan mereka untuk dijodohkan. Terakhir kali ada Thalia, mantan mahasiswinya itu sungguh membuat Rehan kesal. Tidak tanggung-tanggung Thalia malah memperkenalkan dirinya dengan gadis berusia 17 tahun yang tidak lain adalah adik kandung Thalia sendiri. Gadis yang baru menginjak kelas 3 SMA itu tentu saja kaget karena dikenalkan dengan mantan dosen kakaknya. Parahnya, karena itu juga akhirnya Rehan dipanggil dengan sebutan Om oleh Maurin, adik Thalia tersebut.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Rehan yang kala itu sedang menyisir rambut segera mengambil ponsel yang tergeletak di kasurnya. Nama mamanya muncul di layar ponselnya. Rehan tahu apa yang akan dibicarakan sang mama, makanya untuk itu Rehan menyiapkan diri untuk memberikan alasan agar sang mama tidak lagi membujuknya untuk menerima perjodohan yang di atur sang mama.
"Assalamu'alaykum, Mamaku yang cantik." Kata Rehan dengan nada selembut mungkin.
"Wa'alaykumussalam. Gimana Re?" Rehan menghela napas karena mamanya yang sangat to the point. Namun dengan santai, Rehan berpura-pura tidak mengerti.
"Gimana apa, Ma?"
"Rehan, Mama tahu ya kalau kamu itu tahu maksudnya Mama." Rehan terkekeh karena ternyata sang mama sangat paham dirinya. "Sekar gimana? Dia anaknya baik kok. Pake jilbab juga."
"Ma, Rehan gak bisa kalau sama Sekar. Dia memang baik dan pake jilbab juga. Tapi Rehan kayak gak cocok sama dia."
Rehan bisa mendengar bagaimana mamanya menghela pasrah. "Sama Hanum? Dia sholehah lho Re. Lulusan pesantren juga."
"Gak Ma. Rehan itu.."
"Terus kamu maunya yang kayak gimana? Masih mengharapkan Yuna yang nyatanya sudah menikah sama Rafka? Kamu nggak punya niatan untuk merebut iparmu sendirikan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate Until Jannah
Romance*Sekuel Cinta untuk Alana Rehan Nandatama, Pemuda berusia hampir 30-an tersebut sudah terlalu sering ditanyakan tentang 'kapan nikah?'. Pertanyaan yang sama itu tentu saja membuat Rehan malas dan bosan. Bahkan untuk menjawabnya pun Rehan sudah teram...