Suara tawa khas anak-anak itu membuat mata tajam lelaki itu berpusat padanya. Betapa lepasnya tawa itu membuatnya beranjak berdiri kemudian berlari menghampiri si pemilik tawa renyah itu. Gadis kecil dengan gamis motif bunga-bunga itu tampak begitu sayang dengan mahluk lain yang dielusnya itu. Dia terlalu hanyut dalam suasana yang menyenangkan itu. Tidak peduli bagaimana basahnya kerudung berwarna biru itu karena keringatnya. Dia masih saja berlari kesana-kemari lalu berlari lagi mengelilingi pohon bahkan menyusuri halaman depan rumahnya itu dengan senang.
"Dia capek kalau kamu ajak lari-lari terus, Bil."
Sabila menoleh. Matanya menyipit karena menampilkan senyuman manis itu pada lelaki dewasa di hadapannya.
"Om Rehan kapan sampai?" Tanya Bila kemudian berlari menuju Rehan.
Dia bahkan harus mengangkat wajahnya karena Rehan yang terlalu tinggi untuk dirinya yang hanya sebatas pinggang lelaki itu.
"Sudah lumayan lama."
"Kok Bila nggak lihat?" Tanya Bila.
Rehan kemudian duduk dengan menumpukan lututnya di rumput untuk menyamakan tingginya dengan gadis kecil berwajah Rafka versi perempuan ini.
"Kamu kan lagi asyik main sama kelinci itu." Jawab Rehan sambil menunjuk kelinci berwarna putih yang kini sedang diam di dekat pohon.
"Kan Om bisa panggil Bila. Jadi kita bisa main bareng deh."
"Kamukan selalu lupa sama Om kalau lagi main sama kelinci itu." Kata Rehan dengan wajah dibuat merajuk.
"Namanya Lilo, Om." Kata Bila mengingatkan. "Bila nggak akan lupa sama Om kok." Lanjutnya yakin.
"Masa sih?"
"Iya dong. Jadi Om tenang aja ya." Kata Bila sambil menepuk bahu Rehan dengan tangan kecilnya. Gayanya dibuat seserius mungkin namun justru itu membuat Rehan gemas.
"Bila, itu Lilo lari-lari lagi!" Suara perempuan yang tak lain adalah ibu kandung anak itu terdengar jelas oleh keduanya. Bila menoleh ke belakang dan ketika mendapati kelincinya itu berlari menjauh dari posisinya sekarang, anak kecil itu segera berlari mengejar kelinci itu.
Rubyuna baru saja keluar rumah. Rehan menoleh pada perempuan itu. Anehnya perempuan yang biasanya ramah itu, kali ini menatapnya tidak suka. Seperti sedang marah. Tak lama setelah itu Rafka juga muncul. Sementara Rubyuna berlari mengikuti anaknya, Rafka duduk santai di teras depan. Rehan lalu berdiri dan membersihkan celananya kemudian segera menghampiri Rafka.
"Jadi gimana rasanya melepas status kejombloan abadi?" Tanya Rafka setelah Rehan mendekat.
Lelaki berkacamata itu duduk di kursi samping Rafka. Sejak kejadian seminggu yang lalu, dimana dirinya berani memberikan kesempatan pada Amanda untuk kenal dirinya, Rehan memang belum mendengar tanggapan apapun dari para sahabatnya tentang hal ini. Bahkan dirinya sudah satu minggu ini tidak ke kafe. Dia lagi-lagi harus meminta Irene memantau kondisi kafenya. Tentunya Rehan harus mendengar protes dari Irene dan Ammar dulu.
"Ya begitulah. Biasa saja." Jawabnya singkat.
"Kenapa nggak langsung nikah aja? Pacaran juga nggak baik." Kata Rafka serius.
Rehan tersenyum tipis. Tanpa memandang Rafka sama sekali. "Dia perlu tahu siapa gue, Ka. Lo mungkin pernah dengar gimana gue sebelum masuk keluarga besar kalian."
"Ya itu memang perlu. Tapi pacaran juga bukan pilihan yang tepat gue rasa. Lo nggak tahu aja gimana Ruby ngomelin gue pas dia tahu kalau lo sama Amanda itu pacaran. Panas kuping gue." Ujar Rafka.
Rehan tahu. Jalannya memang salah. Tapi dia juga tidak bisa langsung mengambil keputusan besar untuk segera menikah. Lagipula hubungan antara dia dan Amanda bukanlah pacaran ala anak ABG. Dia hanya ingin menjalani proses untuk saling mengenal satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate Until Jannah
Romance*Sekuel Cinta untuk Alana Rehan Nandatama, Pemuda berusia hampir 30-an tersebut sudah terlalu sering ditanyakan tentang 'kapan nikah?'. Pertanyaan yang sama itu tentu saja membuat Rehan malas dan bosan. Bahkan untuk menjawabnya pun Rehan sudah teram...