"Kamu itu jauh dari orang tua loh, Re. Tinggal sama Tante aja. Biar kamu makannya teratur. Nggak kayak gini. Makan seenak hati. Iya kalo doyan makan. Ini malah sering lupa. Udah tau badannya mudah sakit. Atau gak kamu nikah aja deh. Biar ada yang urus. Ada yang nemenin juga."
"Yang paling penting kamu nggak ngenes banget kalau jalan sama temen-temenmu itu. Masa iya kamu cuma jadi pendengar setia mereka terus. Tante aja capek loh liatnya."
Kana duduk di sofa apartemen Rehan. Sedangkan si keponakan tersayang itu kini hanya terkekeh sembari merebahkan kepalanya di sisi sofa lainnya.
"Kalau aku udah punya istri, nanti Tante nggak ngurusin aku lagi." Rehan menjawab santai.
"Seenggaknya Tante bisa tenang kalau kamu udah nikah. Kamu nggak tahukan, Mama kamu itu tiga kali sehari nelponin Tante hanya untuk nanyain kamu makan tepat waktu atau nggak." Kata Kana galak.
Seperti biasa, Rehan sama sekali tidak menghiraukan kekesalan tantenya. Dia justru merasa senang. Tantenya itu sudah seperti mamanya sendiri. Mereka sangat cocok dalam segala hal.
"Nih diminum dulu air hangatnya." Kaira muncul dengan segelas air di atas nampan yang lalu diletakkan perempuan itu di meja.
"Makasih Adek Sayang." Kaira berdecih kesal. Perempuan itu menatap Rehan dengan cemas. Walaupun juga kesal karena sifat keras kepala lelaki itu. Sekarang lelaki itu justru bersikap santai di saat mereka khawatir dengan kesehatannya.
"Buruan nikah deh Kak. Biar ada yang ngurusin kalau lagi sakit gini." Tuhkan, Kaira sudah seperti tantenya.
Setelah tantenya pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan, Kaira menggantikan posisi sang mama untuk memberikan nasehat pada Rehan.
Sungguh, Kaira sekarang jadi sok tua. Rehan justru menahan tua karena itu.
"Kan ada dokter, Kai. Nggak usah cemaslah."
"Dokter juga gak bakalan bisa tinggal disini nemenin kamu, Kak." Kata Kaira ketus. Lalu dia berkata lagi. Kali ini mimik wajahnya sudah mulai terlihat, jahil.
"Kecuali jika..." Kaira masih menggantungkan ucapannya.
Rehan mengernyitkan dahi. Lalu duduk tegak menatap Kaira bingung.
"Apa?"
"Jika..."
"Apa sih Dek?"
Kaira duduk tegak. Perempuan itu menatap Rehan dengan serius. Tampak begitu sok serius tepatnya. "Kecuali jika Kakak mau segera halalin Dokter Amanda. Kan cocok itu."
Rehan diam. Tidak lagi merespon perkataan Kaira. Lebih tepatnya bingung harus merespon seperti apa.
"Kenapa sih nggak mau sama Dokter Amanda? Dia kurang apa coba?"
"Kemarin Hasna, sekarang Amanda lagi. Kamu labil." Bukannya menjawab pertanyaan, Rehan justru membahas hal lain.
Sesuatu yang menurut Kaira tidak penting. Mau Hasna atau pun Amanda, Kaira sih oke-oke saja. Ya walaupun Kaira sendiri lebih ke Amanda. Namun Hasna juga adalah perempuan yang baik dan semoga cocok dengan kakaknya itu.
"Kakak nggak usah coba-coba ngalihin pembicaraan ya. Lagian nunggu apa lagi sih? Calon potensial sudah ada, segi materi udah siap, agama juga udah oke, terus apa dong?"
"Belum ketemu sama yang pas." Jawaban yang ambigu. Kaira super gemas dengan Rehan. Lelaki itu justru tersenyum tipis seolah menganggap wajah kesalnya Kaira sebuah candaan.
"Bakalan pas kalau udah nikah Kak."
"Mana bisa ngejalanin kalau kita nggak pas sama orangnya Kai." Alasan yang sama. Kaira memutar mata seolah sudah malas mendengar alasan Rehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate Until Jannah
Romance*Sekuel Cinta untuk Alana Rehan Nandatama, Pemuda berusia hampir 30-an tersebut sudah terlalu sering ditanyakan tentang 'kapan nikah?'. Pertanyaan yang sama itu tentu saja membuat Rehan malas dan bosan. Bahkan untuk menjawabnya pun Rehan sudah teram...