SUJ 10

1.9K 103 4
                                    

Tempat sederhana itu selalu menjadi incaran pertama kebanyakan mahasiswa. Ralat, bukan hanya mahasiswa tapi juga para masyarakat kampus lainnya. Wajar, jam-jam segini tempat yang menimbulkan aroma harum mengundang rasa lapar ini memang selalu ramai dikunjungi banyak orang. Kantin dengan beragam macam nama itu kini sudah begitu ramai. Teriakan para pembeli yang tidak sabaran beradu dengan teriakan penjual di kantin yang juga sibuk dengan uang kembalian dan pesanan para pelanggannya.

Ketiga gadis itu mengedarkan pandangannya melihat dimana tempat kosong. Resiko datang ke kantin mendekati dzuhur memang seperti ini. Besar kemungkinan tidak kebagian tempat duduk. Hingga kemudian, mata Haifa melihat ada bangku kosong. Tanpa meminta persetujuan kedua sahabatnya, Haifa langsung menarik tangan kedua sahabatnya itu menuju tempat tersebut.

"Biar aku yang jaga tempatnya, Hasna pesenin makanan dan Haifa pesenin minuman." Ucap Hilya cepat. Dia malas harus berdesak-desakkan dengan pembeli lainya apalagi harus antri.

Hasna tersenyum mengiyakan. Sedangkan Haifa memberengut sebal. Dia malas harus antri lama di tempat minuman langganan Hilya.

"Pesen minumnya di tempat Bu Harti aja ya? Samaan kayak Hasna." Bujuk Haifa dan langsung mendapat gelengan Hilya.

"Aku maunya minum es jeruk kunci milik Pak Har. Kamu juga kan, Na?" Haifa mendelik sebal pada Hasna yang juga mengiyakan.

"Ramai banget, Ya. Bisa-bisa pegel nanti." Keluh Haifa.

"Bakalan tambah pegel kalau kamu kelamaan disini Fa. Semakin cepat semakin bagus." Kata Hilya santai sembari tersenyum lebar. "Na, aku pesen nasi ayam rica-rica ya."

"Kamu gimana, Fa? Kelamaan sebal sama Hilya juga gak akan buat dia urung buat pesen minuman langganannya."

Haifa menghela nafasnya. "Aku siomay aja deh." Hasna mengangguk lalu segera ke tempat langganan mereka. Sedangkan Haifa berjalan ke tempat minumanan langganan Hilya.

Sembari menunggu kedua sahabatnya, Hilya mengeluarkan ponselnya. Niat hati ingin melanjutkan tilawahnya yang tertunda tadi, namun sapaan seseorang membuat Hilya mendongak.

"Ya gue duduk disini ya." Belum sempat Hilya mengiyakan lelaki itu langsung duduk di hadapannya. Lelaki yang sangat dikenal Hilya ini sama sekali tidak memperdulikan ketidaksukaan Hilya dengan kehadirannya.

"Saya belum jawab iya. Kok kamu malah duduk disitu?"

"Ngomong sama gue nggak usah seformal itu. Harus berapa kali sih gue bilang. Gue nggak suka kalo lo ngomong ke gue kayak gitu." Kata lelaki itu. Bukannya merasa tidak enak dengan tatapan kesal Hilya, lelaki itu justru menampakkan cengiran khasnya. "Gak usah ngliat gue kayak gitu. Nanti malah naksir lagi ke gue. Abis itu minta balikan. Kan gawat itu."

Tatapan Hilya berubah. Sungguh dia malas jika lelaki itu mengungkit masalah itu. Apalagi mengingat sekarang perasaannya masih menyimpan harapan dengan lelaki itu sedangkan lelaki itu justru blak-blakan curhat kalau dia menyukai sahabatnya. Rasanya Hilya ingin membuat ingatan dirinya hilang sebentar agar tidak lagi mengingat perasaannya kepada lelaki itu.

"Aelah, Ya. Malah baper gitu sih."

"Jahat kamu."

Kalau saja bukan karena sedang menunggu kedua sahabatnya, Hilya lebih memilih untuk segera pergi. Berlama-lama bersama dengan lelaki ini justru membuat Hilya semakin sulit melupakannya.

"Tapi kalau minta balikan juga nggak apa-apa. Minta temenin ke KUA aja gue bisa."

"Safaraz kamu bisa diam nggak? Kalau nggak mending kamu pergi sana."

Soulmate Until JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang