Perumahan di komplek ini berdiri dengan kokoh dan megah. Melihatnya membuat orang terkagum-kagum. Pagar-pagar rumah yang terpasang kokoh dan kuat. Megahnya gedung tempat tinggal itu begitu membuat kita tidak perlu bertanya, tergolong dalam kelompok manakah orang-orang yang menempati perumahan disini.
Sudah pasti orang-orang yang punya uang banyak, yang dengan uang itu semuanya bisa dibeli, termasuk cinta.
Namun tidak bagi Hilya. Baginya cinta dan kebahagiaan tidak akan bisa dibeli oleh uang. Gadis itu dengan pakaian serba hitam memilih untuk berjalan kaki menyusuri perumahan itu. Dulu. Sangat dulu sekali, dia pernah terpenjara dalam tempat indah ini. Hingga seseorang akhirnya berhasil membawanya keluar dari rumah itu. Sayang, disaat kebahagiaan itu mulai dia rasakan, malang tak bisa ditolak. Hilya harus menelan pedihnya rasa sakit. Sebelum itu, Hilya sudah banyak merasakan rasa sakit, namun kejadian itu ternyata puncak sakitnya.
Sudah setengah jam kakinya berjalan. Kini di hadapannya, sebuah rumah yang terpasang pagar besar berwarna hitam seolah mengejeknya. Lama dia berdiri disitu. Hingga akhirnya pagar itu terbuka.
Hilya kaget namun dia masih bisa bergerak ke samping dan berjalan ke arah pulang. Dia bisa mendengar suara mobil baru keluar dari area rumah itu. Hilya tidak perduli dengan siapa yang baru saja keluar itu. Hingga sebuah suara yang menyebutkan sebuah nama membuat langkahnya terhenti.
Suara yang selama ini dia rindukan.
"Humaira!" Jelas Hilya sangat mengenal suara itu. Lagipula hanya orang itu yang memanggilnya dengan nama kesayangan itu.
Hilya enggan menoleh. Dia semakin mempercepat langkahnya. Namun panggilan itu semakin terdengar jelas.
"Humaira! Tunggu Ibu!."
Hilya mencoba enggan berhenti. Namun ternyata kakinya enggan melangkah. Buru dia memakaikan cadar hitam yang tadi dia sembunyikan di saku jaketnya.
"Kamu Humairakan?" Suara itu semakin dekat.
Hilya menoleh. Matanya beradu tatap dengan mata perempuan itu. Sungguh Hilya sangat merindukan perempuan yang di hadapannya ini.
"Saya bukan Humaira. Maaf." Jawab Hilya sopan.
Perempuan itu tidak begitu saja percaya. Mata gadis itu sangat mirip dengan mata anaknya. "Kamu Humaira. Anak Ibu." Perempuan itu berjalan mendekat. Dia hendak memeluk Hilya, namun Hilya segera menahan perempuan itu.
"Maaf Ibu. Saya bukan anak Ibu."
"Saya tidak mungkin salah mengenali anak saya sendiri. Kamu Humaira, anak saya." Katanya lirih.
"Bukan Ibu. Saya-"
"Mama!" Seorang gadis berambut ikal berlari menghampiri mereka.
Sementara perempuan itu melihat ke arah gadis yang mendekat ke mereka, Hilya berlari menjauh. Hatinya sakit mengetahui ternyata posisinya masih sama dengan dulu. Hanya menjadi posisi kesekian di antara yang lain.
Lebih sakitnya ketika dia tahu bahwa yang melakukan itu adalah Ibunya sendiri.
Kenapa rasa tidak diinginkan sesakit ini?
***
Masih dengan persiapan pernikahan Tirta. Kini di rumahnya Rehan ikut membantu berbagai persiapan. Setelah semalam dia menjalani proses mengukur baju untuk dipakai dipernikahan tersebut, hari ini dia kebagian menjadi baby sitter untuk para keponakannya. Mengawasi Sabila, Haura, Btari dan Nada. Keempat gadis cilik itu langsung anteng setelah Rehan berikan berbagai bunga. Walaupun acak-acak, namun hasil kreasi empat anak tersebut cukup bagus. Apalagi Bila, tampaknya anak itu mewarisi bakat kreatifnya mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate Until Jannah
Romance*Sekuel Cinta untuk Alana Rehan Nandatama, Pemuda berusia hampir 30-an tersebut sudah terlalu sering ditanyakan tentang 'kapan nikah?'. Pertanyaan yang sama itu tentu saja membuat Rehan malas dan bosan. Bahkan untuk menjawabnya pun Rehan sudah teram...