SUJ 34

585 85 37
                                    

Mata tajam berbingkai kacamata minimalis itu terus menyusuri tulisan yang ada di depannya. Tidak hanya itu, jemarinya pun dengan lincah menari-nari di atas lembaran putih bermotif tulisan itu. Tidak segan bahkan hampir setiap halaman lelaki itu meninggalkan jejaknya. Tidak memperdulikan bagaimana rapinya lembaran itu sebelum beralih ke tangannya.

Suasana semakin mencekam. Apalagi wajah dua gadis di depannya itu menatap lembaran itu dengan pasrah. Belum ada yang bersuara, yang ada hanyalah bunyi tergoresnya lembaran itu. Ingin rasanya salah seorang dari gadis itu protes, namun melihat bagaimana seriusnya wajah lelaki di hadapannya membuatnya urung melakukan itu.

"Kamu tidak baca panduan penyusunannya?" Tanya lelaki itu memecah kesunyian.

Bukannya menghangat suasana di ruangan itu semakin mencekam. Apalagi suara lelaki itu yang pelan namun begitu lugas.

"Baca Pak." Jawab salah satu dari gadis itu takut-takut. Sedangkan satu gadis lainnya, mencoba menenangkannya.

"Mustahil rasanya kalau dibaca tapi kesalahan sepele seperti ini terjadi." Katanya sambil menunjukkan nomor halaman bagian depan bab satunya.

"Iya Pak."

"Kamu mengiyakan yang mana?" Lelaki itu bertanya lagi. Tidak terdengar nada bersahabat disana.

"Saya...Lupa.. Baca." Cicit gadis itu takut-takut.

Rehan tidak berkata apapun lagi. Dia menyerahkan kumpulan lembaran itu pada gadis itu.

"Kamu perbaiki semua yang saya coret itu." Katanya kemudian. "Ini kartu bimbingannya." Tak lupa kertas selembar berisikan kolom bimbingan itu dia serahkan ke gadis itu.

"Baik Pak. Terima kasih." Jawab gadis berambut sebahu itu. "Saya permisi Pak." Dia lalu pergi keluar ruangan diikuti oleh gadis berhijab di sampingnya.

"Dosen pembimbing lo serem amat sih. Ganteng-ganteng bikin mati berdiri." Rehan bisa mendengar jelas ucapan salah satu gadis itu. Padahal mereka sudah keluar ruangannya. Namun dengan volume suara yang lumayan keras itu, tentunya Rehan bisa mendengar jelas apa yang diucapkannya.

"Pak Rehan memang gitu. Serem banget pas bimbingan, semoga aja banyak membantu pas sidang." Terdengar gadis yang satunya menjawab.

"Kabarnya dia belum nikahkan?"

"Belum. Mau daftar?"

"Nggak sanggup kayaknya aku. Dingin gitu."

"Yang gitu-gitu kan bikin penasaran."

Sementara itu Rehan terlihat tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh dua mahasiswi itu. Pembicaraan yang diduga Rehan dilakukan di luar ruangannya itu terdengar jelas. Namun beginilah dirinya ketika proses bimbingan, seringkali sulit mendapat acc darinya. Namun itu sebenarnya karena dia ingin mahasiswa bimbingannya matang dalam proses seminar ataupun sidang nanti. Dia sungguh tidak tega melihat jika ada mahasiswa yanh ternyata harus mengulang ketika proses seminar proposal, seminar hasil apalagi ketika sudah harus di tahap sidang akhir atau sidang komprehensif.

Menurutnya lebih baik banyak revisi ketika proses bimbingan tapi lancar ketika seminar ataupun sidang daripada harus diuji habis-habisan ketika seminar ataupun sidang dan mahasiswa tidak siap menghadapi itu. Walaupun akan lebih baik jika dilancarkan untuk semua proses demi predikat sarjana itu.

Seulas senyum tipis Rehan muncul ketika melihat sebuah foto yang terbingkai manis di mejanya. Foto liburan terakhir mereka. Potret kenangan manis yang banyak mengukir kenangan indah kala itu.

"Kalau sudah besar mau jadi apa?" Tanya perempuan itu menatap kedua anak lelaki itu dengan lembut.

"Mau jadi arsitek."

Soulmate Until JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang