SUJ 35

767 103 42
                                    

Hilya menghilang. Itulah kesimpulan yang Rehan dapat simpulkan setelah kejadian satu bulan yang lalu. Semenjak resignnya dia tiba-tiba, gadis itu seakan hilang ditelan bumi. Tidak ada yang tahu kabarnya dan segala sesuatu tentang dirinya. Rehan sendiri tidak menyangka gadis itu ternyata semisterius itu. Belum selesai perkara mengapa gadis itu begitu ketus padanya dulu kini ntah mengapa pikirannya kembali merasakan penasaran tentang jati diri gadis itu.

Suasana kafe masih sama seperti biasa. Masih sama seperti dulu. Hanya saja menurut Ariel dan yang lainnya, semenjak Hilya tidak bekerja di kafe lagi mereka seperti kehilangan sosok yang biasanya mengingatkan mereka untuk sholat. Kata Aris sekarang tidak ada lagi 'ukhti-ukhti receh' seperti Hilya lagi. Tera dan pegawainya yang perempuan apa lagi. Kata Tera tidak ada lagi yang bisa membacakan tentang sirah shahabiah kepada mereka. Awalnya Rehan sendiri heran, dari mana Tere mendengar istilah 'sirah' apalagi kata 'shahabiah' itu. Gadis itu dan pegawainya yang perempuan lebih mengenal dan mengetahui cerita seputar Blackpink daripada kisah-kisah penuh inspirasi dari para shahabiah itu.

Tera dan yang lainnya lebih mengenal personil Blackpink daripada barisan ummul  mukminin. Tidak jauh berbeda dengan Ariel dan yang lainnya, jika dulu mereka hanya mengenal tokoh-tokoh di animasi Naruto atau mengagumi bagaimana tangguhnya tokoh fiktif bernama Spiderman dan superhero buatan negeri Barat lainnya daripada sahabat Nabi Muhammad SAW.

Bahkan Aris ingat benar bagaimana tampan kagetnya mereka begitu mendengarkan Hilya menyinggung tentang Muhammad Al-Fatih atau Sultan Muhammad II tersebut. Mana kenal mereka tentang sepak terjang Muhammad Al-Fatih dalam mengukir sejarah menaklukan Kostantinopel. Pikiran mereka sudah dijejali dengan beragam super hero barat.

"Pak Bos sendiri pasti nggak kenal Umar Bin Abdul Aziz kan?" Tanya Aris.

Saat ini dua lelaki itu sedang menikmati malam di rooftop kafe. Duduk santai di malam minggu melihat bintang-bintang. Picisan memang. Namun Aris bilang, melihat bintang-bintang itu tidak hanya sekedar melihat dan mengagumi keindahannya saja. Tapi lebih ke memaknai bagaimana kuasa Allah menciptakan itu. Jika alam saja sudah membuatmu sebegitu kagum dengan keindahannya, harusnya kekaguman itu ditujukan kepada si Pencipta alam semesta seindah ini.

"Siapa? Bapak kamu?" Tanya Rehan asal.

Lagipula bagaimana pula dia kenal siapa itu Umar bin Abdul Aziz, mendengar namanya saja baru sekarang. Di zaman modern sekarang bahkan ada nama orang yang begitu khasnya seperti zaman dulu. Tapi kalau Umar bin Khattab dia kenal. Itupun karena dirinya pernah kebagian menceritakan itu pada Malik dan Luthfi saat dua keponakannya itu sedang dititipkan padanya.

"Ngaco. Bukanlah."

"Terus?"

Aris terkekeh. "Dia bisa dibilang cicit Sayyidina Umar bin Khattab."

Rehan mengernyitkan dahinya. Bagaimana bisa Aris mengenal sahabat Rasulullah tersebut hingga mengetahui cicitnya. Lantas ada kisah sehebat apa sehingga Aris begitu berbinar ketika menyebutkan nama itu.

"Kamu bisa langsung ke intinya saja kan?"

Lagi-lagi Aris terkekeh. Sungguh tidak sabaran. "Bos tau Umar bin Khattab kan?"

"Kamu nggak perlu ngetest saya gitu. Nggak tahu cicitnya bukan berarti nggak tahu buyutnya." Kata Rehan pelan namun bernada ketus.

"Pernah dengar cerita ibu dan anak penjual susu ketika masa pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab?"

"Kamu dari tadi nanya mulu Ris. Nggak bisa langsung ke intinya?"

"PR buat bos deh." Rehan menatap Aris dengan tajam. Bukannya takut lelaki itu justru tertawa.

"Kita kemarin juga dikasih PR sama Kak Hilya."

Tuhkan gadis itu lagi. Rehan tidak habis pikir mengapa pengaruh gadis itu begitu besar di kafenya. Lebih tepatnya begitu merasakan hal yang berbeda ketika gadis itu sudah tidak ada kabarnya lagi.

Soulmate Until JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang