“Setelah menyakiti, lalu dia datang kembali dengan berkata bahwa dirinya ingin memperbaiki. Dasar tidak tahu diri!”
-Undefinable-
"Lempar, Ca!" teriak Shafa dari bawah, saat ini dia sedang berada di belakang sekolah, tepatnya di bawah jendela kelas.
“Tangkep ya!" balas Caca berteriak pula. Caca melempar tas Shafa dengan hati-hati. "Fighting!"
Tangan Shafa terulur, menantikan tas itu jatuh ditangannya. Namun sepertinya lemparan Caca kurang keras, sehingga tas Shafa malah tersangkut di ranting pohon, buku-buku yang ada didalamnya berjatuhan diatas tanah.
“Sorry, Fa. Nggak bisa bantuin, BuRik mau masuk!" teriak Caca dari atas. Selain BuSuk, mereka juga mempunyai guru yang bernama Rika. Mereka juga biasanya menyebutnya dengan sebutan BuRik, dengan alasan yang sama. Biar lebih singkat.
Shafa berjinjit untuk mengambil tasnya namun tangannya tak cukup sampai. Shafa kira selama ini dirinya cukup tinggi karena rajin berenang, tapi pada kenyataannya dirinya tak cukup tinggi. Shafa mencari ranting pohon disekitarnya yang mungkin saja bisa dia jadikan sebagai alat bantu. Namun dia mendengus kesal, tidak ada yang bisa dijadikan alat bantu.
"Nih, tas lo."
Suara serak itu berhasil membuat Shafa mendongak, orang itu menenteng tas Shafa dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain dimasukkan ke dalam saku celana. "A-Arash?" mata Shafa membulat sempurna. Ia segera mengambil tasnya dari tangan Arash. "Lo kok nggak masuk kelas? Ini jam pelajaran BuRik loh, Rash," tanya Shafa.
Arash terkekeh pelan, "Gue nggak sengaja liat temen sekelas gue keluar dengan tampang mencurigakan. Dan sekarang, gimana nih? Ada siswi yang bolos ketahuan sama ketua osis," ujarnya.
"Gue nggak bolos! Tas gue dijatohin sama Caca! Makanya gue ngambil kesini," balas Shafa cepat.
Arash mengacak puncak kepala Shafa, "Bolos aja, Fa. Biar gue izinin. Lo janjian sama bos lo jam sepuluh kan? Sekarang udah setengah sebelas kurang tiga menit."
Shafa menarik pergelangan tangan Arash, lalu melihat dengan rinci jam yang bertengger di pergelangan tangan itu, "Ya ampun, gue telat. Yaudah, gue bolos dulu ya! Izinin sama BuRik. Dah ketos!" ujar Shafa lalu lari sekuat tenaganya.
Arash tertawa pelan, Shafa itu sangat menggemaskan menurutnya. Arash dan Shafa berasal dari SD dan SMP yang sama, dan mereka selalu berada di kelas yang sama pula. Tapi Arash dan Shafa tidak begitu dekat, karena Shafa lebih dekat dengan Fabian yang membenci Arash. Shafa adalah penengah di antara keduanya.
Dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, Arash kembali ke kelas. Bu Rika yang melihat Arash datang terlambat lantas bertanya, "Arash, dari mana saja kamu? Kenapa baru masuk?"
"Dari ruang Kepala Sekolah, Bu. Ada urusan sama ayah saya," balas Arash.
Fabian yang mendengarnya lantas berdecih dalam hati. Anak ayah—batinnya.
Bu Rika tersenyum, mempersilahkan Arash duduk di tempatnya. Sekali lagi, yang ber-uang akan selalu menang. Yang memiliki jabatan tinggi, akan selalu dihormati. Kenapa materi selalu dijadikan alasan untuk seseorang di diskriminasi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...