11. KILO

31.4K 2.3K 61
                                    


Salah satu tujuan mata diciptakan adalah agar tidak asal menilai orang melalui telinga.

-Undefinable-

Fabian menatap kedua cewek di hadapannya dengan kening berkerut. Aneh rasanya bila Shafa datang dengan menarik pergelangan cewek yang terkenal dengan sifat ansos dikelasnya itu. "Kenapa, Fa?" tanya Fabian pada Shafa.

     "Lo duluan aja, Bian. Gue mau ada yang dibicarain bentar sama Ghea," sahut Shafa.

     Fabian menggeleng, "Bicara aja, gue tungguin sampe selesai."

     "Ck! Terserah lo deh," pasrah Shafa, ia kembali menyeret lengan Ghea untuk menurutinya duduk di bangku panjang ada di dekat halte sekolah.

     Fabian menghendikkan bahunya, ia melepas helm fullface-nya, lalu merapikan rambutnya dengan jari tangan sambil bercermin di kaca spion. Tidak ingin kepo dengan pembicaraan Shafa dengan Ghea, karena nanti Shafa bisa saja bercerita padanya tanpa Fabian minta.

     "Lo ada masalah apa sama Olin?" tanya Shafa.

     Ghea terdiam sebentar sambil menatap Shafa dengan tatapan tak terbaca, "Gue salah kasih obat," balasnya.

     Shafa menghela nafas berat, "Harusnya lo lebih hati-hati, jangan ceroboh, Ghe. Adeknya Olin punya penyakit lemah jantung, nggak sembarang obat bisa dia minum."

     "Iya, Fa. Gue tau gue salah. Gue nyesel karena udah bersikap ceroboh." Ghea menunduk lesu.

     "Jangan diulangin lagi," ujar Shafa. "Maaf gue udah ikut campur, padahal gue nggak ada urusan lagi sama organisasi PMR."

     "Nggak papa kok." Ghea mencoba tersenyum, walau terasa kikuk. "Gue seneng ada orang yang mau ngulurin tangannya buat gue disaat gue jatuh kayak tadi."

     "Itu gunanya temen, Ghe." Shafa menunjukkan senyuman ramahnya.

     Ghea menunduk, "Lo ... nganggep gue temen?"

     "Ya iyalah. Gue nggak percaya sama rumor yang bilang kalo lo itu ansos. Lo itu cuma kelewatan pendiam aja, makanya agak susah ditemenin. Tapi gue nganggep lo temen kok." Shafa berdiri, "Gue pulang duluan ya, kasian Bian udah lama nungguin."

     Ghea menatap punggung Shafa yang perlahan menjauh darinya. Shafa yang ceria, mudah baginya untuk menemukan teman. Berbeda dengan Ghea. Dalam diamnya, Ghea memikirkan kalimat demi kalimat yang diucapkan Shafa kepadanya tadi, lantas tersenyum sinis, batinnya berucap—

     Lo anggep gue teman? Lantas, pertemanan seperti apa yang lo maksud itu, Fa?

***

     Keheningan menyapa ketika Fabian memasuki rumahnya. Di rumah sebesar dan semewah ini, Fabian tinggal sendirian. Ia memilih tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya. Bukan apa, hanya saja Fabian merasa nyaman tinggal di tempat ini, walaupun sunyi.

     Seandainya Fabian tinggal dengan kedua orang tuanya pun, Fabian pasti juga akan merasakan keheningan. Kedua orang tua Fabian gila bekerja, hingga hampir tidak ada waktu untuk berkumpul di rumah.

UndefinableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang