“Seseorang pernah bilang; percuma kalo lo pintar matematika tapi gak bisa ngitung berapa banyak kesalahan yang lo perbuat.”
-Undefinable-
Arash :
Hari ini, jam 3 sore, hutan pinus.
Jangan ngaret, Fa.Shafa yang baru saja tiba dirumahnya lantas mendengus kesal ketika membaca pesan tersebut. Ia melempar asal-asalan tas dan kaos kaki yang dikenakannya. Hampir saja ia melupakan bahwa hari ini adalah hari sabtu, hari dimana Shafa akan belajar dengan Arash.
Jam 3 sore? Hutan pinus?
Shafa benci belajar. Lalu mengapa tempo hari dia mengatakan bahwa ia ingin belajar dengan Arash? Shafa merutuki dirinya sendiri karena hal itu. Bagi Shafa, belajar itu membosankan. Belajar itu merepotkan.
Shafa sempat berpikir untuk tidak pergi ke tempat yang telah ditentukan Arash. Namun setelah ia pikir-pikir, ini adalah langkah awal untuk Shafa mengetahui apakah ada hubungannya antara Arash dengan teror di kolam renang beberapa waktu lalu.
"Nggak ada pilihan lain." gumam Shafa. Ia melirik arloji hitam yang bertengger manis di pergelangan tangan sebelah kirinya, "Sekarang udah jam dua lewat tiga puluh empat menit. Gue cuma punya waktu dua puluh enam menit buat siap-siap." ucapnya bermonolog dengan diri sendiri.
Buru-buru, Shafa melepas seragam sekolahnya. Menggantinya dengan baju santai yang biasa ia kenakan sehari-hari. Rambut lurusnya ia biarkan di gerai. Shafa memakai sedikit cologne gel di pergelangan tangan dan lehernya. Ia menepuk-nepukkan bedak bayi beraroma jeruk di wajahnya. Dengan polesan sedikit liptint dan,-
"Selesai!" girang Shafa.
Untuk belajar, mungkin Shafa akan memerlukan buku. Tapi Shafa tidak mempunyai buku catatan yang bagus, karena semua buku catatan yang dimilikinya Shafa gunakan untuk mencorat-coret hal yang tidak penting. Seperti menggambar wajah Fabian dengan bentuk lonjong misalnya.
Ngomong-ngomong soal Fabian, "Ah, iya. Gue inget! Bian pernah ngasih gue binder." ucap Shafa lalu membuka lemarinya.
Binder warna biru--yang sekarang sudah cukup usang karena terlalu lama disimpan--itu adalah pemberian dari Fabian pada Shafa ketika mereka lulus Sekolah Dasar. Shafa sangat ingat, waktu itu Fabian pernah bilang; simpen baik-baik, jangan dipake untuk hal yang gak penting. Ini berharga banget walaupun harganya nggak sampai seratus ribu.
Shafa meletakkan binder itu di dalam keranjang sepedanya. Ia berjalan sambil menggiring sepedanya hingga keluar dari pagar, ia melihat Fabian yang tidak memakai baju sedang mencuci motor sport-nya di depan rumah, walaupun terhalang oleh pagar, Shafa bisa melihatnya dengan jelas.
Shafa menutup matanya lalu berteriak, "BIAN! TOLONG JANGAN PAMER ROTI SOBEK DIHADAPAN GUE! GUE MAKAN PAKE SELAI STROBERI TAU RASA LO!"
Fabian yang mendengar suara cempreng itu lantas menghentikan aktivitasnya, lalu keluar pagar untuk melihat tetangga yang berada di sebrang rumahnya itu. "Apasih, Fa! Teriak-teriak kayak suara lo bagus aja."
Shafa menatap tajam Fabian, "Gue nggak suka ya, kalo lo keluar rumah gak pake baju gitu."
Fabian terbahak, "Kalo gitu, gue juga nggak suka ya, kalo lo keluar rumah pake hotpants kayak gitu!"
"Ish! Tau ah! Gue berangkat sekarang." Shafa ingin mengayuh sepedanya, namun ditahan oleh Fabian.
"Mau kemana? Tumben pake sepeda. Kenapa nggak gue anterin aja?" ujar Fabian si tetangga limited edition.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...