“Membenci tanpa alasan yang pasti dan tak berani menampakkan diri. Mungkin kamulah definisi dari pecundang iri hati.”
-Undefinable-
Sama seperti malam-malam biasanya. Shafa malas ikut makan bersama di rumahnya sendiri. Dan di sini Shafa sekarang, duduk di depan minimarket dengan mie instan yang sudah diseduh, ditemani oleh Fabian di sampingnya.
Shafa memakan mie instan tersebut sambil bercerita mengenai pekerjaan paruh waktu yang dikerjakannya mulai lusa, sesekali tangan mungilnya menyuapi Fabian, Fabian manut-manut saja.
"Kok bisa sih?" celetuk Fabian, kedua tangannya berlipat di depan dada, tubuhnya bersandar pada sandaran kursi.
"Gue juga nggak nyangka, Bian. Kafe itu milik dia sama kakaknya. Pantesan aja namanya 2D Omnivora Cafe. Ternyata 2D itu singkatan antara nama Daniel dan Dania," kata Shafa, kembali melahap mie instannya.
"Terus, gimana perasaan lo sekarang? Kondisi jantung lo masih stabil kan?" Fabian terkekeh pelan. Ia sangat ingat kejadian setahun yang lalu ketika Shafa putus dengan Daniel, Shafa tidak akan makan selamanya seandainya Fabian tidak bersedia membawa Shafa ke tempat makan setiap hari. Padahal putusnya Shafa dengan Daniel sama sekali tidak ada hubungannya dengan Fabian. Tapi malah Fabian yang kena akibatnya.
Proses move on yang di alami Shafa sangat menyulitkan Fabian. Hampir seluruh tempat makan di kota ini sudah pernah didatangi mereka berdua, hanya untuk terapi yang dilakukan Shafa, terapi melupakan mantan.
Shafa itu unik. Dia bukan seperti cewek biasanya yang mati-matian menjaga pola makan agar tetap terlihat langsing. Shafa sebaliknya, dia itu sangat suka makan. Apalagi makanan yang dibelikan oleh Fabian, nikmatnya berlipat ganda.
"Masih stabil, gue kan udah move on!" sahut Shafa.
Fabian mengacak puncak kepala Shafa, hal ini sudah menjadi kebiasaannya. "Tetep jaga-jaga ya, Fa. Jangan sampe baper sama mantan. Kalo lo jatuh lagi, nangis lagi, gak masalah. Gue cuma nggak tau harus bawa lo ke tempat makan yang dimana lagi."
"Gue gak bakal baper sama mantan. Tenang aja." Shafa mengangguk mantap. Mie instannya kini benar-benar habis. Ia menenggak air mineral dalam botol kemasan hingga hanya tersisa setengah.
Fabian merasa haus, lalu merampas botol minuman dari tangan Shafa dan meminumnya.
"Bekas gue woi!" teriak Shafa.
"Bodo amat," sahut Fabian cuek.
Shafa hanya memutar bola matanya malas. Shafa sangat anti meminum minuman yang sudah pernah diminum orang lain. Karena menurut Shafa, hal itu sama saja dengan—Shafa membulatkan matanya. "Bian, barusan secara nggak sengaja, kita ciuman!"
Fabian menautkan kedua alisnya heran, lalu tangannya terulur untuk menepikan poni Shafa yang menutupi sebagian matanya karena tertiup angin, "Lo ngaco banget, Fa."
"Nggak, Bian. Tadi gue minum pake botol itu, artinya bibir gue nempel disana. Terus lo juga minum air dari botol itu. Astaga Bian, bibir kita bersentuhan." sahut Shafa sambil menyentuh bibir ranumnya.
Fabian sedikit kesal, "Lo gila ya, Fa? Mana ada ciuman kayak gitu?!"
"Gimana gue nggak gila, Bian?" jeda Shafa, "LO BARU AJA NYIUM GUE DAN ITU BIKIN GUE GILA!"
Seketika semua pandangan orang yang ada di depan minimarket itu menatap Fabian dengan tatapan tajam sambil sekekali berbisik-bisik. Fabian mencoba tersenyum di hadapan mereka, tangannya mengelus-elus lengan Shafa, "Fa, volume ngomongnya bisa dikecilin kan?" tanya Fabian lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...