“Sometimes I feel like giving up. But I just can't.”
-Undefinable-
Kurang lebih setengah jam, akhirnya mobil sedan itu berhenti di depan sebuah toko bunga. Cowok dengan balutan kemeja putihnya, keluar dari mobil itu dan berjalan memasuki toko bunga. Seperti biasa, ia membeli dua buket bunga lily putih setiap ia akan menemui orang yang dirindukannya. Cowok itu memberikan dua lembar uang berwarna merah, "Kembaliannya ambil aja, Pak."
Pak Budi, si pemilik toko bunga menyalami Fabian dengan haru. Tak henti-hentinya pria paruhbaya yang berusia sekitar lima puluh tahun ke atas itu berterima kasih pada Fabian.
Fabian keluar dari toko bunga itu. Lalu kembali melajukan mobil sedannya ke tempat tinggal orang yang ia rindukan. Hanya beberapa menit, ia tiba di tempat itu. Langkahnya terayun santai, hingga kemudian langkah kaki itu berhenti didepan sebuah gapura. Ia tersenyum tipis, "Sesuai janji, gue datang lagi."
Ia kembali melanjutkan langkahnya untuk memasuki area itu lebih dalam. Fabian berdiri kemudian berjongkok di antara dua makam khusus anak-anak. Ia meletakkan dua buket bunga lily putih yang ia beli tadi pada masing-masing makam.
Fabian memejamkan matanya sesaat. Membiarkan pasokan udara yang terasa kian berat di sekelilingnya. Hingga sebuah tangan menyentuh pundaknya, Fabian menoleh.
"Sesuai perintah Den Bian, tempat ini selalu mamang bersihin tiap hari." ucap orang itu, Fabian biasanya menyebutnya Mang Darmo.
Fabian tersenyum tipis, "Makasih, mang. Tadi ada yang sudah datang kesini?" tanyanya.
"Maksud Den Bian teh Den Arash?"
Fabian tersenyum kecut, lalu menunduk memandangi salah satu makam dihadapannya.
Merasa paham dengan keadaan, Mang Darmo menggeleng pelan, "Den Arash biasanya datang kesini pada waktu sore. Beda sama Den Bian yang datang pagi."
Fabian masih menunduk.
"Yaudah teh mamang pergi dulu ya." ucap Mang Darmo kemudian pergi ke pondok kecil di samping gapura yang dijadikan sebagai posko peristirahatan untuk para penjaga makam.
Fabian mengulurkan tangannya untuk mengusap salah satu batu nisan yang bertuliskan nama orang yang dirindukannya, lalu beralih mengusap batu nisan yang lainnya. "Mungkin lo berdua bosan liat gue yang tiap tanggal empat belas selalu datang ke sini." ucap Fabian entah bicara pada siapa.
"Gue kangen lo berdua,"
"Maafin gue yang sampai saat ini belum bisa berdamai dengan kejadian itu."
Fabian berucap sambil tersenyum tipis. Ia tak ingin bersedih dihadapan orang yang ia kasihi, walau sebenarnya ia ingin.
"Entah sampai kapan gue kayak gini."
"Gue pengecut."
"Gue pecundang."
"Maafin gue, Val, Do."
Fabian menadahkan kedua tangannya, lalu mengirimkan doa untuk dua orang terkasihnya. Ia lagi-lagi menghela nafas, memandangi kedua makam itu dengan tatapan sendu. "Gue pamit ya, Val, Do. Janji, tanggal empat belas berikutnya gue bakal nemuin lo berdua lagi."
Fabian bangkit. Lalu berjalan dengan langkah berat meninggalkan area pemakaman itu.
Saat ingin membuka pintu mobil, ponsel Fabian bergetar. Seseorang tengah menelponnya. Fabian mengangkat sebelah alisnya ketika tahu siapa yang menelpon. Tidak pikir panjang, Fabian segera mengangkatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...