Jika sesuatu tidak dapat dibuktikan. Maka ia tak pantas untuk diperdebatkan.
(Alder's Razor)-Undefinable-
Entah untuk yang ke-berapa kalinya, Shafa mencelupkan handuk kecil itu ke dalam baskom berisi air hangat, lalu memeras dan mengompreskannya pada luka memar di wajah Fabian. Seingat Shafa, ini adalah salah satu cara untuk menyembuhkan luka memar, karena reaksi hangat dari air itu akan meningkatkan aliran darah ke jaringan sehingga membantu untuk mempercepat penyembuhan lebam ataupun memar.
"Pelan-pelan, Fa. Lo pikir gak sakit apa?" ringis Fabian ketika Shafa sedikit menekan kompresan itu tepat pada lukanya.
Shafa memutar bola matanya malas, "Udah tau sakit, masih aja berantem. Kalo gak normal ya gak normal aja, gak usah sok-sokan berantem. Filosofi gue tentang ke-abnormalan lo gak bakal berubah, sekalipun lo berantem kayak cowok normal beneran."
Lagi, kenormalan Fabian dibawa-bawa. Setelah kejadian pagi hari di kamar Fabian waktu itu, Shafa masih meragukan kenormalan seorang Fabian? Yang benar saja.
Fabian tertawa renyah, "Bacot mulu neng, niat ngobatin gak?"
"Ya niat lah!" sahut Shafa cepat, "Ngomong-ngomong, lo berantem gara-gara curiga Arash itu Student A atau karena hal lain?"
Fabian mengangkat sebelah alisnya ketika Shafa menatapnya dengan penuh kecurigaan. "Ngomong apa sih?" ujar Fabian berujung menoyor kepala Shafa, "Gue gak suka Arash karena dia udah neror lo dan gue sendiri."
"Yakin cuma karena itu?" tanya Shafa sambil memicingkan matanya.
"I-iya, cuma itu."
Shafa menggeleng membantah pernyataan Fabian, "Mata batin gue bilang, lo lagi boongin gue!"
Tangan Fabian terulur untuk menepikan poni yang sedikit menutupi mata Shafa, "Suka ngaco kalo ngomong. Mata batin ya? Emang lo punya mata batin?"
Sambil memeras handuk itu, Shafa mengangguk, mulai terkecoh akan Fabian yang sedang mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sebenernya gue gak cuma punya mata batin, Bian. Gue juga bisa baca pikiran." ujar Shafa, lebih ngaco.
Fabian terbahak, "Serius bisa? Coba tebak gue lagi mikirin apa?"
Shafa berdiri untuk meletakkan baskom berisi air hangat yang mulai mendingin itu ke atas nakas, ia telah selesai mengompres luka memar Fabian. Kemudian ia kembali duduk, lalu mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke bibir, seolah sedang berpikir keras. Beberapa detik kemudian, Shafa tertawa, "Lo lagi mikirin gue."
"Gak ada kerjaan kalo gue mikirin cewek gila kayak lo, Fa." bantah Fabian.
"Ck," decak Shafa, "Ngaku aja sih, Bian. Lo bener lagi mikirin gue. Di pikiran lo pasti cuma ada gue, makanya gara-gara ada yang dorong gue tempo hari, lo dendam banget sama orang itu. Sampe-sampe berantem sama Arash 'lagi, belain gue kan? Iyakan? Iyadong!" Shafa menaikturunkan alisnya.
Fabian bergidik ngeri, "Over pede astaga. Saran gue sih buat lo ya, Fa. Percaya diri boleh, bego jangan."
"Bego bego gini gue juga tetangga lo, Bian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...