“Dalam persaudaraan, kadang ada saatnya kita harus merasakan sakitnya dibeda-bedakan.”
-Undefinable-
Sekesal-kesalnya Fabian pada Shafa, ia tak bisa memarahi cewek itu. Fabian pun tidak tahu alasannya mengapa. Dengan raut wajah yang semakin kusut, Fabian putar balik menjalankan mobil sedannya.
"Sejak kapan lo akrab sama Ghea?" tanya Fabian sambil menyetir.
"Sejak tadi." sahut Shafa. "Dia di dorong Olin sampe jatoh di ruang PMR. Salah Ghea juga sih sebenernya, salah ngasih obat ke adeknya Olin. Tapi gue belain Ghea sih, soalnya dia kan juga nggak sengaja. Nggak harus didorong-dorong gitu,"
Fabian mengangguk paham, "Tumben banget lo mau ikut campur urusan mereka."
"Gue kasian aja sama Ghea. Di dorong itu sakit. Gue sering ngalamin pas SD, waktu gue jadi korban bullying."
Fabian terkekeh, "Mau jadi korban bullying lagi gak? Biar gue jadi tukang bully-nya."
"Ogah!" balas Shafa.
Tak terasa, mereka sudah sampai di tempat tujuan. Fabian memarkirkan mobilnya. Sementara Shafa keluar lebih dulu untuk memesan.
"Bang Anan!" sapa Shafa pada penjual bakso itu. "Bakso dua porsi, air es dua gelas, banyakin es batunya ya!"
Bang Anan mengacungkan jempolnya, "Sama den Fabian ya?"
"Iya, Bang." sahut Fabian yang tiba-tiba muncul di samping Shafa.
"Pake sambal apa enggak?" tanya Anan pada keduanya.
"Sambalnya banyakin sedikit, Bang." bukan Fabian yang menyahut, melainkan Shafa.
Bang Anan menautkan alisnya, "Serius, neng. Sambalnya banyakin apa dikitin?"
"Sambalnya banyakin sedikit, Bang. Gitu aja kok repot." ujar Shafa lalu pergi mencari tempat duduk.
Bang Anan semakin dibuat bingung dengan ucapan Shafa. Sambalnya banyakin sedikit. Maksudnya apa? Sambalnya banyakin? Atau dikitin?
Fabian yang paham lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Maksud Shafa, baksonya pake sambal tapi jangan banyak-banyak, Bang."
"Oh, gitu. Ngomong yang jelas atuh." sahut Bang Anan sambil tertawa. Fabian terkekeh, lalu menyusul Shafa ke tempat duduk yang ada di samping jendela.
Shafa memainkan ponselnya sambil menunggu bakso pesanannya datang. Cewek itu terlihat sangat serius menatap layar ponselnya. Hal itu membuat Fabian mengerutkan keningnya heran, "Lo ngapain sih, Fa? Serius banget muka lo."
"Knowing everything particular object." Shafa menghendikkan bahunya.
"Artinya apaan, Fa?"
"Kepo!"
Fabian berdecak kesal, "Gue serius nanya, Fa. Artinya apaan?"
"Kepo." balas Shafa, tidak mengalihkan sedikitpun tatapannya dari layar ponsel.
"Gue nggak kepo, Fa. Gue cuma nanya artinya apaan. Gue lagi nggak bawa hape, jadi gak bisa translate."
Shafa mendengus sebal, ingin rasanya ia menjitak kepala Fabian, "Maksud gue, arti kalimat yang gue ucapin tadi, kepo. Bego banget sih,"
Fabian nyengir, "Eh, gue kira lo bilang gue yang kepo."
Shafa kembali berkutat dengan ponselnya. Fabian penasaran, apa sebenarnya yang sedang dilakukan cewek dihadapannya ini? Dengan jahil, Fabian meletakkan tangannya di atas layar ponsel Shafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...