PROLOG

133K 5K 262
                                    

❝Yang kelihatannya, belum tentu sama dengan keadaan yang​ sebenarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang kelihatannya, belum tentu sama dengan keadaan yang​ sebenarnya. Kadang, ada orang yang masih bisa tersenyum cerah. Padahal, hatinya sedang​ gundah.

-Undefinable​-

SHAFA menutup telinga, kesal sendiri mendengar celotehan anak laki-laki berusia 3,5 tahun di depan kamarnya. Mengganggu saja, begitu pikirnya.

"Kak Shafa, ayo tuyun. Bunda bikinin​ masakan​ kesukaan​ Yafa, lho," kata anak laki-laki itu lagi, sembari mengetuk pintu kamar Shafa.

Shafa mendengus sesaat walau berikutnya jadi beranjak dari kasur, berjalan, membuka pintu kamar lalu menuruni tangga menuju ruang makan, mengabaikan adiknya yang sedari tadi menunggunya keluar kamar. Rafa, adiknya, segera menyusul Shafa.

Di meja makan sudah ada Ayah dan Bunda mereka. Bunda tersenyum melihat kedatangan anak gadisnya ke ruang​ makan, ia kira putrinya mau ikut makan malam bersama. Namun senyumannya perlahan pudar ketika melihat Shafa justru hanya mengambil sepotong ayam goreng, lalu kembali ke kamarnya. Tanpa mengucap sepatah kata pun.

Kanaya-bunda Shafa dan Rafa-menatap suaminya dengan tatapan mengintimidasi. "Apa cuma aku yang kepikiran sama perilaku Shafa? Kenapa Mas diam saja seolah itu bukan masalah serius?"

"Kenapa kamu justru baru memikirkannya sekarang? Seharusnya kamu menyadarinya sejak saat itu. Putri kita sangat banyak berubah. Sudahlah, jangan bahas masalah itu," sahut Tio, suami Kanaya.

"Tapi, Mas-"

Tio melirik Rafa yang sedang makan dengan lahap di samping Kanaya, "Tidak ada yang bisa disalahkan atas sikap dan perilaku Shafa. Sekarang diam, jangan hancurkan acara makan malam sederhana ini hanya karena masalah yang tidak penting itu," putusnya.

Selanjutnya, yang terjadi di meja makan hanyalah keheningan. Sesekali terdengar suara Rafa yang merengek minta ambilkan kecap yang terletak di tengah meja makan, karena tangannya tak cukup sampai.

Sementara itu, Shafa. Gadis berusia enam belas tahun itu sedang berbaring di kasurnya setelah menghabiskan sepotong ayam goreng, tanpa minum air. "Harusnya Bunda bikinin makanan kesukaan Shafa, bukan Rafa," gumamnya entah pada siapa.

Shafa menghampiri tas sekolahnya yang ia letakkan di atas meja belajar. Ia mencari sesuatu di dalam sana. Tersenyum ketika menemukan sesuatu yang ia cari; sebuah​ dompet. Lalu membukanya, senyumnya belum juga pudar ketika melihat isi dompet itu yang masih terbilang cukup banyak untuk anak seusianya-uangnya memang jarang dipakai, karena ia memiliki dompet berjalan yang setiap saat selalu menuruti keinginannya. Seseorang itu ... kalian akan berkenalan dengannya nanti.

UndefinableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang