Padahal pacaran aja enggak, tapi udah posesif, ngerasa memiliki dan pengen jadi prioritas. Dasar lemah!-Undefinable-
Hampir empat tahun berlalu semenjak kejadian hari itu. Hari dimana Shafa menangis menatap bundanya yang terbaring lemah di atas kasur rumah sakit, setelah beberapa jam sebelumnya berhasil melahirkan putranya dengan penuh perjuangan. Bunda Kanaya mengalami pendarahan hebat karena hal itu. Ini adalah salah satu alasan kenapa Shafa tidak menginginkan adik. Selain karena kasih sayang kedua orangtuanya yang terbagi, hal yang paling tidak diinginkan Shafa adalah ... Bundanya sakit.
Saat itu, Shafa yang masih duduk di bangku SMP berpikir bahwa seandainya Rafa tidak ada, Shafa tetap akan mendapatkan kasih sayang kedua orangnya secara penuh. Seandainya Rafa tidak ada, Bunda tidak akan sakit seperti saat itu. Hingga pada akhirnya, Shafa menyalahkan semuanya pada Rafa-yang bahkan belum mengerti apa-apa.
Tapi mulai sekarang, Shafa mencoba berdamai dengan semuanya. Dengan langkah pasti-setelah siap dengan seragam dan tas sekolah yang tersamp di bahunya-Shafa berjalan ke arah dapur. Di sana, ada Bunda yang sedang menyiapkan makanan dan Ayah sedang duduk di kursi samping meja makan.
Shafa menelan salivanya dengan susah payah kemudian mendekat sehingga membuat dua orang itu menyadari kehadirannya.
"Shafa ikut sarapan, boleh?" tanya Shafa agak canggung pada kedua orang tuanya yang kini menatap kehadirannya tanpa berkedip.
Iya, hari ini, untuk pertama kalinya sejak dirinya membentengi diri dengan kedua orang tuanya, Shafa mencoba meruntuhkan kembali benteng itu. Ia mencoba mendekat, mencoba menerima semuanya. Termasuk kehadiran Rafa, adiknya.
Sepertinya, ucapan Fabian malam itu sungguh berpengaruh untuk Shafa.
"Shafa, kamu-"
"Iya, bunda. Ini Shafa,"
Dengan mata berkaca-kaca, Kanaya menarik kursi di sampingnya, mempersilakan putri pertamanya itu untuk duduk. Shafa yang canggung terpaku beberapa saat ketika bunda berdiri untuk memeluknya beberapa detik, kemudian mengacak puncak kepala Shafa, "Ayo duduk, sayang. Kebetulan hari ini bunda bikin telor mata sapi setengah matang. Kamu suka itu kan?"
Shafa tersenyum dan mengangguk. Sedikit aneh, padahal ia berada sangat dekat dengan keluarganya namun Shafa merasa dirinya sangatlah jauh. Memangnya sudah sejauh apa Shafa menghindar dari mereka hingga bisa secanggung ini?
Shafa memakan sedikit demi sedikit telur mata sapi setengah matang yang baru saja disediakan Bunda untuknya. Bunda beberapa kali mengajaknya berbicara, Shafa hanya sesekali menyahut. Setelah selesai menyantap sarapannya, barulah Shafa menyadari sesuatu, "Rafa kemana, Bunda?"
Bunda tersenyum mendengar pertanyaan itu, ia meletakkan segelas susu hangat di hadapan Shafa yang langsung di minum oleh gadis itu, "Rafa lagi di teras, main sama Fabian,"
Shafa hampir tersedak, "Bian udah jemput Shafa?!"
Bunda mengangguk, "Dari tadi dia udah nungguin kamu sambil ngajak Rafa main. Bunda ajak sarapan, tapi dia bilang katanya udah sarapan sendiri di rumah,"
Shafa melirik arlojinya, waktu menunjukkan pukul enam lewat lima belas. Gadis itu segera mengakhiri aktifitas sarapannya. Tangannya terulur untuk menyalimi punggung tangan ayahnya, kemudian beralih menyalimi punggung tangan bunda. "Shafa berangkat dulu, Bund, Yah,"
"Gak minta uang jajan?" tanya Ayah dengan satu alis terangkat.
Shafa tersenyum kikuk, "Gak usah, Yah. Kasih ke Rafa aja," sahutnya. Tak memperdulikan bagaimana reaksi bunda dan ayah selanjutnya, Shafa langsung melenggang ke luar rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...