“Yang dekat belum tentu jadian. Kita cuma sebatas teman sepertetanggaan, nggak lebih dari itu.”
-Undefinable-
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Cowok itu masih terbang di alam mimpinya. Tak peduli dengan sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam kamarnya melalui celah gorden. Hari ini adalah hari minggu, hari dimana ia bisa merasakan ketenangan karena bebas dari jeratan pelajaran di sekolah.
Harapannya untuk tenang buyar seketika ketika cewek dengan suara cemprengnya tanpa segan masuk ke kamarnya sambil berteriak.
"WAKE UP FABIAAAAN! PAGI INI JADWAL LO BIKININ GUE ROTI SELAI STROBERI!" teriaknya.
Fabian yang berada di balik selimut mengeratkan pejaman matanya. Sekali-kali ia menjaili cewek yang sudah mengacaukan tidurnya itu, Shafa.
"Bian! Bangun dong!" ujar Shafa sambil menepuk-nepuk kaki Fabian.
Fabian tidak menghiraukan Shafa.
"KAK FELIII, BIAN NYA GAK MAU BANGUN!" adu Shafa pada Feli, kakak Fabian.
"COBA LAGI, FA! KALO TETEP GAK MAU BANGUN, SIRAM AJA PAKE AIR COMBERAN!" teriak cewek yang lain dari luar.
Fabian menelan salivanya. Yakali Fabian disiram pake air comberan? Tega banget itu kak Ros!--batin Fabian. Berada di antar dua cewek yang memiliki hobi berteriak seperti Shafa dan Feli memang butuh kekebalan ekstra.
Shafa meloncat ke atas kasur Fabian. Lalu duduk menyila di atas sana. Shafa tau, Fabian sedang tidur dengan posisi tengkurap. Dengan jail, Shafa menepuk kencang bagian yang ia yakini adalah punggung Fabian. "Bangun Bian! Langit mau runtuh!"
"Pfft," di bawah selimut, Fabian menahan tawanya. Langit mau runtuh apaan? Shafa ngaco!
"Kebo banget si bangsat." umpat Shafa, "Nggak ada cara lain," lanjutnya.
Shafa membuka selimut yang menutupi tubuh Fabian, lalu turut berbaring di dalam sana. Fabian yang pura-pura tidur lantas terkejut. Cewek gila! Ngapain juga ikut-ikutan kayak gini?
Dengan susah payah, Fabian menelan salivanya ketika tangan Shafa memeluk dirinya, "Bangun dong, papah sayang. Mamah ngidam roti stroberi nih."
Ucapan Shafa sukses membuat Fabian membuka mata, lalu duduk tiba-tiba sehingga pelukan Shafa ditubuhnya terlepas. Ia menunjuk Shafa dengan tatapan horror. "Cewek gila!"
Shafa tersenyum puas, usahanya membangunkan Fabian tidak sia-sia. Shafa masih dengan posisinya, berbaring di dalam selimut. Ia tersenyum jahil, "Sayang, aku pengen roti selai stroberi. Bikinin ya?"
Fabian mengacak rambutnya gusar, "Gue bikinin. Tapi nggak usah masuk ke kamar gue kayak gini juga, Fa. Apalagi sampe ngelakuin hal kayak tadi. Bahaya tau nggak?!" ucap Fabian setengah berteriak.
"Salah lo juga sih. Kebo banget pas dibangunin." Shafa balik menyalahkan.
Lagi, Fabian menyentuh dadanya. Sepertinya Fabian memang terkena serangan jantung di usia muda, dan penyebabnya adalah Shafa.
"Bian, coba liat gue." ujar Shafa. Fabian menoleh dengan tampang keheranan. Shafa tertawa, "Bian, kok pipi lo merah? Blushing ya? Aduh, kalo cowok blushing lucu banget ya haha." Shafa tertawa sambil memegangi perutnya.
"Apaan sih! Gila!" umpat Fabian untuk kesekian kalinya.
Shafa tertawa kencang, "Aduh, perut gue, sakit, ngetawain lo, hahaha!"
Fabian menggeram kesal. "Mending lo keluar deh, Fa. Nggak malu lo rebahan di kasur cowok kayak gini?" usirnya secara halus.
"Nggak." Shafa menggeleng cepat. "Karena lo bukan cowok, dan lo nggak normal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...