Namanya juga cowok. Kalo nggak salah ya nggak bener.
-Undefinable-
Shafa kembali merasakan pusing di kepalanya. Hidungnya memerah dan terasa sedikit gatal. Suhu tubuhnya meningkat dibandingkan setelah ia bangun tidur tadi. Shafa duduk di tepi ranjang sambil melirik ke arah Fabian yang sekarang sedang berbaring pada karpet yang terletak di samping bawah kasur. Cowok itu sedang memainkan game online kesukaannya. Menyebalkan.
"Woy bagi medkit dong bagi. Punya gue abis nih." racau Fabian.
Shafa memutar bola matanya malas.
"EH ANJIR GUE KNOCK WOY! KNOCK! SAMPERIN GUE CUK!" ucap Fabian setengah berteriak.
"Gue disini nih, di Bima, deket sama pohon. Ah, jangan lama-lama woy, keburu mati nih gue."
Lagi, Shafa hanya bisa mendengus. Kenapa Fabian harus semenyebalkan itu ketika sedang bermain game? Padahal beberapa jam yang lalu Fabian terlihat manis ketika sedang mengusapkan minyak kayu putih di sebagian tubuh Shafa. Eh, kenapa Shafa malah memikirkan hal itu?
"WAH KAMPRET, GUE MATI!"
Plak!
Shafa yang sudah bosan mendengar Fabian meracau, tanpa ragu melempar bantal ke arah muka cowok itu.
"Kenapa sih, Fa?" tanya Fabian kesal. Ia mendelik untuk menatap malas Shafa. Sedetik kemudian ia membulatkan matanya, "Fa, lo kenapa pake lipstick di hidung?" tanyanya, konyol.
Shafa mengusap hidungnya yang terasa gatal. "Gue gak make lipstick."
"Terus hidung lo kenapa merah gitu?"
Shafa terlihat berpikir sejenak, "Mungkin karena gue...laper,"
Fabian berdecak sebal lalu meletakkan ponselnya di sembarang tempat. Ia turut duduk di tepi ranjang, tepat di samping Shafa. "Lo kapan kenyang sih, Fa? Dari awal kenal, lo selalu bilang lapar padahal porsi makan lo itu ngelebihin porsi makan gue sebulan."
"Mungkin gue nggak di takdirkan untuk kenyang." balas Shafa sekenanya. Tangan Shafa tak berhenti mengusap hidungnya. "Hidung gue kok gatel banget ya."
Fabian meletakkan punggung tangannya di depan kening Shafa, "Panas banget, Fa. Kepala lo pusing gak?"
Shafa mengangguk.
"Gue agak nggak yakin sih," Fabian memijit pelipisnya, "Kemungkinan besar lo lagi kena flu karena kebanyakan air kolam yang masuk ke hidung lo."
Shafa memijit-mijit pangkal hidungnya dengan telunjuk.
"Gue beliin obat bent-"
Haaaccis!
Shafa bersin, kemudian ia memeluk lengan Fabian. "Gak usah kemana-mana. Gak usah beliin obat. Bikinin makanan aja."
"Tapi, Fa. Lo itu perlu minum obat sebelum lo tambah parah. Gue nggak mau tambah repot gara-gara ngurusin bayi gede kayak lo." omel Fabian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...