33. TRENTE-TROIS

24.1K 1.7K 125
                                    



Terkadang orang yang nampak tenang bukan berarti ia sedang baik-baik saja. Bisa saja orang itu sedang menyimpan sejumlah luka, namun ia pandai menyikapi semuanya dengan senyuman.

-Undefinable-

"Rachel? Farel? Luna? Mereka ini siapa?" tanya Shafa keheranan.

Fabian memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, "Gak usah di pikirin. Kita kan udah sepakat buat gak ngurusin masalah Student A lagi." ujarnya.

Shafa menggaruk pipinya yang tidak gatal, lalu perlahan mengangguk. "I-iya juga sih. Yaudah, gue ganti baju dulu. Jadi kan?"

"Iya, sana ganti."

Shafa langsung pergi ke tempat loker. Sementara itu, Fabian juga langsung menanggalkan seragam sekolahnya, menyisakan celana pendek selutut. Ia naik ke atas papan loncat lalu melakukan peregangan.

"Gue bisa bantu kalian nyari tau siapa Student A." ucap seseorang tiba-tiba. Mendengar hal itu, Fabian langsung menoleh. Tatapannya langsung berubah datar ketika tau siapa yang baru saja bicara. Orang itu, Arash.

"Gak usah sok peduli. Bisa aja, lo dalang dibalik semuanya." balas Fabian datar. Cowok itu kini tengah melakukan gerakan memutar lengan.

Arash memijit pangkal hidungnya, "Lo masih ngira gue Student A? Sumpah demi apapun, itu bukan gue, Fab." akunya, "Oke, sekarang gue jujur. Gue gunain kunci serbaguna milik Aldo yang masih gue simpen buat naroh binder milik Vallerie di loker lo karena gue pikir lo yang lebih pantas nyimpan benda peninggalan Vale. Cuma itu. Urusan siapa Student A gue sama sekali gak tahu-menahu." jelasnya panjang lebar.

"Terus gue harus percaya gitu aja sama omongan lo?" tanya Fabian, sinis. "Kalo lagi bahas yang lain, gak usah bawa-bawa Vale sama Aldo. Lo gak pantas bahas mereka."

Lama terdiam, Arash kembali bersuara. "Udah enam tahun lamanya. Lo gak capek? Jujur, gue rasa, sekarang saat yang tepat buat kita akhirin semuanya. Gue minta maaf." ujarnya.

Fabian sibuk melakukan peregangan. Ia mengabaikan ucapan Arash. Namun mengabaikan bukan berarti tidak mendengarkan. Fabian mendengar dengan jelas apa yang di ucapkan putra kepala sekolah itu, namun ia malas memberi respon.

Arash tersenyum miris, ia meletakkan tas yang sedari tadi disenggotnya ke atas kursi lalu turut berdiri di atas papan loncat di sebelah Fabian, "Iya, ini emang salah gue dan gue sepenuhnya sadar akan hal itu. Tapi coba lo pikir, melihat kita yang hingga sekarang tetap kayak gini. Apa mereka bakal tenang?" tanyanya, serius.

Fabian menghentikan gerakannya. Ia menatap dalam air kolam yang tampak tenang dihadapannya, "Sebenernya apa tujuan lo ngomong kayak gini ke gue sekarang?"

"Gue capek, Fab." sahut Arash. Cowok itu kini juga turut menatap lurus ke bawah, ke arah air yang nampak tenang namun berhasil membangkitkan ingatannya tentang kejadian beberapa tahun silam.

Fabian tersenyum sinis, "Basi."

Arash mengangguk meng-iyakan, "Lo bener, karena baru mendengarnya sekarang. Peristiwa yang terjadi di hari itu persis seperti kematian nyokap gue. Gue gak bisa ngelakuin apapun karena waktu itu gue masih diliputi rasa trauma."

"Trauma? Tapi menurut gue, itu artinya lo sama aja ngulangin kesalahan kedua disaat kesalahan pertama belom lo perbaiki." Fabian menggelengkan kepalanya, "Otak pinter lo gak berguna kalo masalah beginian. Dan itu yang bikin gue benci sama lo sampe saat ini."

"Its OK. Silahkan benci karena itu emang kesalahan gue," sahut Arash, "Tapi rasanya gak adil kalo lo nyalahin gue gitu aja tanpa mikir gimana rasanya ada di posisi gue saat itu. Pertolongan apa yang bisa diharapkan dari orang penakut kayak gue?"

UndefinableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang