25. YANKEE

26.2K 1.8K 140
                                    

Kamu adalah Tuan. Hatimu adalah rumah. Sebuah rumah akan dikatakan mati jika di dalamnya hanya ada kekosongan tanpa ada yang mengisi. Jadi, tentukan siapa yang akan mengisi hatimu, Tuan!

-Undefinable-

"Untuk yang ke sekian kalinya, kamu membuat kesalahan. Kamu ini kenapa sih, Ghe?" tanya Bu Riska--pembimbing organisasi PMR di SMA Adhyastha--pada gadis yang sedang meremas rok sekolahnya, dia Ghea.

Ghea menggeleng pelan. "Itu semua ketidak--"

"Ketidak sengajaan lagi? Sudah lebih dari lima kali kamu melakukan kesalahan, alasan kamu tetap itu-itu saja. Jika sekali dua, mungkin bisa di maklumi. Tapi kamu terlalu sering." Bu Riska memijat pelipisnya yang terasa berdenyut, "Bosan dengan jabatan?"

Pertanyaan itu lagi, batin Ghea. Ia semakin menunduk, takut di tatap dengan tatapan mengintimidasi oleh guru pembimbing itu. Ghea sadar, ini memang salah dirinya yang selalu teledor memberikan obat untuk pasien. Tapi itu benar ketidak sengajaan, Ghea hanya pusing membedakan antara obat yang satu dengan yang lainnya.

Ghea juga sadar, ia tidak pantas. Namun ia ingin jabatan itu.

"Kalau kamu bosan, kamu bisa serahkan jabatan kamu ke orang yang lebih bertanggung jawab. Atau kamu bisa bikin Shafa kembali lagi ke organisasi ini." ucap Bu Riska, semakin membuat keringat dingin bercucuran keluar dari pelipis Ghea.

Lagi-lagi Shafa.

Bu Riska memang sangat menyayangkan murid kesayangannya itu memutuskan keluar dari organisasi PMR.

Ghea mendongak, menatap Bu Riska dengan sorot mata yang berkaca-kaca, "Beri saya kesempatan lagi, Bu. Saya janji akan menghentikan sikap ceroboh saya. Saya akan menghafalkan nama-nama obat dan dosisnya."

Bu Riska terlihat sangat kecewa.

"Bu, tolong kasih saya kesempatan." ucap Ghea, memohon.

"Kamu salah kasih penanganan sehingga sakit Marsha menjadi lebih parah. Minta maaf sama dia." sahut Bu Riska terlihat pasrah, "Setelah itu jangan ulangi lagi kesalahan kamu. Bisa kan? Jangan ceroboh lagi, ini bukan main-main, Ghe."

Ghea tersenyum cerah, "Terimakasih, Bu. Saya janji gak akan ceroboh lagi."

"Ya sudah, kembali ke kelas."

Ghea mengangguk sumringah. Sebelum keluar ruangan itu, ia mencium punggung tangan Bu Riska. "Permisi, Bu."

Di depan ruangan Bu Riska, ada Caca yang sedang menunggu Ghea sambil menelpon seseorang. Ghea memang meminta Caca untuk menemaninya menemui Bu Riska tadi. "Hai, Ca." sapa Ghea.

Caca menoleh, "Udah selesai?"

Ghea mengangguk, "Udah kok. Makasih ya udah nungguin."

Caca mengangguk. Kemudian kembali berbicara dengan seseorang di sebrang telepon, "Udah dulu ya, Fa. Gue mau balik ke kelas nih. Iya, moga cepat sembuh."

"Telponan sama Shafa ya?" tanya Ghea ketika Caca memasukkan ponsel ke saku seragamnya. Kemudian, mereka berdua berjalan untuk kembali ke kelas.

"Iya, di minta beliin batagor tiga rasa milik Mang Dadang di depan gerbang. Heran deh gue. Itu anak lagi nggak sehat padahal, tapi pikirannya makanan mulu." sahut Caca.

Ghea terkekeh, "Shafa lucu banget ya haha."

"Lucu banget. Kadang ngeselin juga. Tapi gue betah temenan sama dia," Caca terlihat berpikir, "Kalo dia lagi tidur, kira-kira dia mikirin makanan juga nggak ya?"

"Mana gue tau, Ca. Tanyain aja ke Shafa nya haha." sahut Ghea, "Eh, Ca. Ngomong-ngomong, katanya Shafa di dorong ke kolam renang sama orang gak di kenal ya? Itu gimana ceritanya sih?"

UndefinableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang