“Umumnya fungsi mulut manusia adalah untuk makan, minum, bicara. Tapi jika fungsinya berubah jadi untuk menggonggong dan asal hujat, mungkin itu bukan mulut manusia tapi mulut binatang.”
-Undefinable-
Jam kosong adalah saat-saat yang di dambakan semua murid dikelas itu, terutama para brandal kelas yang sedang asik berkumpul di ubin lantai yang terletak di pojok kelas sebelah kiri saat ini. Siapa lagi kalau bukan Fabian, Arsen, Shafa dan Caca.
"Ekhm, tes tes satu dua." Arsen berdehem guna mencek suara emasnya, "Gue punya pertanyaan buat lo pada, dijawab yang bener ya."
Fabian menghela nafas berat, "Firasat gue nggak enak kalo Arsen udah ngomong gini," gumamnya nyaris tak terdengar.
"Pertanyaan apaan sih, Sen?" tanya Shafa.
Caca diam, malas menimpali. Karena Caca tau, zona kewarasan Arsen akan menyusut ketika dirinya berbicara seperti itu, apalagi disaat-saat jam kosong seperti ini.
"Ca, ini pertanyaan khusus buat lo-"
"Nggak usah di dengerin, Ca. Buaya nyepik," potong Fabian sebelum Arsen melakukan aksinya.
"Gue juga nggak dengerin, Bian. Males," balas Caca, ia menyumpalkan earphone ke telinganya. Malas mendengarkan pertanyaan yang pastinya sangat unfaedah dari Arsen.
Arsen melayangkan tatapan membunuh pada Fabian, "Awas aja lo, Bian. Gue bales lo ntar."
"Balas aja, Sen. Dengan senang hati gue terima," sahut Fabian sambil menyilakan kakinya, bersandar di tembok kelas.
Arsen berdecih, lantas menatap Shafa dengan seringaian jahilnya, "Fa, gue peramal. Lo percaya nggak?" tanya Arsen.
Shafa menggeleng, "Sorry, Sen. Gue nggak percaya sama aliran sesat."
"Dengerin ramalan gue kali ini aja. Gue beneran bisa ngeramal, Fa."
Fabian menutup kedua mata Shafa dengan telapak tangannya, "Ngomong aja, Sen. Shafa nggak bakal denger, matanya udah gue tutupin."
Arsen menganga, "Inilah alasan mengapa RSJ di Indonesia harus diperbanyak."
"Biar cukup ruangan buat nampung orang gila kayak lo," timpal Fabian.
"Lo lebih gila, nyet."
Shafa masa bodo dengan obrolan Fabian dan Arsen. Matanya yang sipit kini semakin menyipit karena merasa ngantuk. Shafa menepuk-nepuk paha Fabian, memastikan tempat itu bisa dijadikan bantalan atau tidak. Tanpa pikir panjang, Shafa berbaring, meletakkan kepalanya di atas paha Fabian.
Fabian mengelus-elus rambut Shafa, "Tidur aja, Fa. Kalo ada guru yang masuk, ntar gue usir supaya tidur lo nggak terganggu."
"Wait, wait. Jangan tidur dulu, Fa." cegah Arsen.
"Ck! Apaan lagi sih, Sen," sewot Fabian.
"Gue ngomong sama Shafa, kenapa malah curut yang sewot," cibir Arsen, "Fa, lo kok malah tidur di paha cowok sih? Kan bisa di Caca. Lebih aman, daripada tidur di paha Bian."
Shafa menunjuk dagu Fabian, "Emangnya lo cowok, Bian?"
Muncul lagi pertanyaan legend itu dari mulut Shafa. Fabian menghembuskan nafas kesal.
"Ya cowok lah!" sahut Fabian sarkas.
"Tenang aja, Sen. Bian emang cowok, tapi bukan cowok beneran. Dia nggak pernah pegang dada cewek. Yakan, Bian?"
Arsen menggelengkan kepalanya, "Lo mau nggak kalo Bian jadi cowok beneran? Kalo mau, korbanin aja-"
"Jangan macam-macam, Sen!" potong Fabian, sebelum perkataan Arsen berhasil menodai pikiran Shafa. "Ngomong lagi, motor lo nggak berbentuk pulang nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...