Seperti berada di antara kepingan puzzle yang acak. Kamu memang ada. Namun diperlukan banyak bukti untuk mengungkap siapa kamu sebenarnya.
-Undefinable-
"ASSALAMUALAIKUM TEMEN-TEMEN, WELKAM BEK TU MAY YUTUP CENEL. KEMBALI LAGI BERSAMA ARSEN RICIS--"
Arsen tak dapat melanjutkan ocehannya ketika sebuah bantalan sofa menerpa wajahnya. "Berisik banget lo kuda!"
Arsen nyengir, "Maaf elah, Bian. Galak banget lo kayak nenek perawan lagi datang bulan!"
"Mana ada nenek perawan bege!"
"Ada lah, nenek gue."
Fabian memutar bola matanya malas, "Caca mana? Gak jadi ikut kesini?"
Arsen menunjuk ke arah pintu, "Lo lihat ke sana. Dalam hitungan mundur, Caca bakal muncul dari pintu itu. Tiga... Dua...,"
Bodohnya, Fabian menoleh ke arah pintu mengikuti anjuran Arsen. Dan tepat saat hitungan Arsen berhenti di angka satu, Caca muncul sambil menenteng dua buah plastik, cewek itu menatap tajam Arsen. "Gila lo, Sen. Bukannya bantuin gue bawain ini malah masuk duluan. Kampret dasar!"
Arsen nyengir lagi, "Maafin kakanda wahai adipati dolken."
"Gak jelas lo curut!" Fabian menoyor kepala Arsen, "Itu apaan, Ca? Banyak bener." tanya Fabian.
Caca menyerahkan sebuah kantong plastik pada Fabian. "Obat buat Shafa. Gue gak tau obat apa yang cocok buat penyakit Shafa. Yaudah, diborong semuanya sama Arsen. Semua merk obat ada disana."
Fabian melongo melihat kelakuan ajaib teman-temannya, ia menatap Arsen yang sekarang mengangkat dagunya sombong. "Lo gila ya, Sen? Mau bikin Shafa mabok sama obat sebanyak ini? Shafa cuma demam sama flu. Berapa duit yang lo keluarin buat ngeborong semua ini?"
"Mana gue tau. Gue cuma ngasih uang satu juta ke mbak-mbak penjaga apoteknya. Gue bilang kembaliannya ambil aja. Baik kan gue?"
"Setres iya!" timpal Caca.
Fabian mengambil dompetnya, ia mengeluarkan salah satu kartu atm lalu menyerahkannya pada Arsen. "Habisin satu juta. Anggep aja gue ganti rugi."
"Gak usah lah, Bian. Gue ikhlas. Duit segitu doang mah gak ada artinya bagi gue." tolak Arsen.
"Belagu banget lo bangsat!"
Shafa sedang tertidur dengan posisi berbaring di sofa. Padahal cewek itu baru saja menghabiskan sepiring omelet sayur, tapi langsung dibawa rebahan. Ciri-ciri mutlak anak pemalas. Matanya terbuka lebar ketika mendengar keributan yang Shafa tau, itu suara Fabian, Arsen dan Caca. Dengan hidung yang masih memerah, ia mengubah posisinya menjadi duduk. "Ngapain sih ribut-ribut?" tanya Shafa.
Caca langsung mendekati Shafa, ia menggenggam tangan cewek itu. "Yaampun, Fa. Maafin gue ya, harusnya tadi gue nggak bilang kalo ada pesan masuk di hape lo. Pasti sekarang lo gak bakal kayak gini," ucapnya, ia masih merasa bersalah pada Shafa karena kejadian pagi tadi.
Arsen turut mendekat ke hadapan Shafa, "Lo gak papa kan, Fa? Ya ampun, sedih banget gue karena hape gue ikut basah pas nyebur bantuin lo. Lo nya gak papa kan, Fa? Nasib hape gue gimana nih, Fa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...