Hangat bukan karena minyak kayu putihnya, tapi karena lo yang pakein.
-Undefinable-
Fabian mencoba membuka pintu rumah Shafa untuk ke sekian kalinya, namun nihil. Pintunya terkunci. Fabian menepuk jidatnya pelan, ia baru saja ingat bahwa tidak ada siapapun di dalam. Ayah Shafa sedang bekerja. Bundanya sedang menjaga toko di pasar dengan Rafa. Ia menatap ke atas, tepat pada jendela kamar Shafa yang terbuka. Fabian menggeleng, gue nggak mungkin bawa Shafa manjat ke atas sana kan?
Fabian memutuskan kembali ke mobilnya yang terparkir di halaman rumah Shafa, di dalam mobil ada Shafa yang sedang tertidur dengan posisi duduk. Fabian memindahkan mobilnya ke garasi di rumahnya sendiri. Ia melepaskan seatbelt dari tubuh Shafa, lalu mengangkat cewek itu ala bridal style ke dalam rumahnya.
"Loh, Bian. Shafa kenapa?" tanya Feli dengan raut wajah heran.
"Tenggelam." balas Fabian sekenanya. Ia membawa Shafa ke kamarnya.
Merasa ada yang tidak beres, Feli yang sebenarnya ingin berangkat untuk jadwal kampus siang, berbalik menuju kamar adiknya.
"Kenapa bisa tenggelam? Bukannya lo tadi ke makam? Kenapa bisa ketemu Shafa?"
Fabian berdecak, "Panjang ceritanya. Mending lo gantiin baju Shafa pake baju lo dulu, deh. Kasian dia kedinginan."
"Yaudah gue ambil bajunya bentar." sahut Feli lalu meninggalkan kamar Fabian menuju kamarnya.
Fabian menatap Shafa yang terpejam dengan bibir memucat. Ia meletakkan punggung tangannya di kening Shafa, panas. Telapak tangan Shafa sangat dingin. Melihat keadaan Shafa yang seperti ini, Fabian jadi teringat akan seseorang. Seseorang yang amat sangat ia rindukan kehadirannya.
Fabian menghela nafas berat. Lagi-lagi gue lalai dalam menjaga seseorang. "Maafin gue, Fa."
Feli datang sambil membawa sepasang baju piyama miliknya, lengkap dengan pakaian dalam. "Lo keluar dulu. Gue mau gantiin baju Shafa."
"Gue disini aja." sahut Fabian, malas beranjak dari posisinya sekarang.
Feli menepuk kuat lengan adiknya itu. "Gue tau lo bocah cabul. Tapi se-enggaknya keluar bentar. Masa iya lo mau liat Shafa gak pake baju?!" ucapnya setengah berteriak.
Fabian meringis, "Udah sering liat. B aja tuh."
Feli melotot tak percaya dengan ucapan adiknya, "Lo? Gue bilangin mami sama papi!"
"Bilangin aja." Fabian menunjuk benda berukuran mini di tangan Feli. "Itu namanya bra kan? Shafa gak suka warna ungu. Dia sukanya pake warna merah muda. Sekedar info aja sih." ucapnya, setelah itu Fabian melenggang keluar kamar
"FABIAN, CABUL LO!"
Fabian duduk di sofa ruang tengah sambil memainkan ponselnya. Tadi, Caca meminta izin pulang pada guru piket dengan alasan ingin mengantar tas Shafa. Sementara itu, Arsen meminta izin untuk pulang karena bajunya basah kuyup. Namun satupun dari mereka tidak ada yang diberi izin. Sungguh guru piket yang kejam.
Fabian berinisiatif untuk menelpon Arsen, namun ia teringat akan ponsel Arsen yang katanya basah karena cowok itu nyebur ke kolam renang untuk menyelamatkan Shafa. Dan pada akhirnya, Fabian memilih untuk mengirimi Caca pesan.
Fabian : Lo sm Arsen anterin tas Shafa kerumah gue aja, Ca. Sekaligus ad yg mau gue tanyain sama lo pada.
Tak berselang waktu lama, notifikasi pesan balasan dari Caca membuat ponsel Fabian bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Undefinable
Teen FictionShafa, gadis dengan peringkat lima dari bawah itu adalah gadis yang periang, namun menjadi pendiam ketika berada di rumah. Merasa dibedakan, membuat Shafa menjadi pribadi yang berbeda dengan Shafa yang sebelumnya. Fabian, tetangga Shafa yang mengaku...