45 : an untold story

5.3K 1K 163
                                    

San memukul tanganku dengan dan membuat serpihan kaca yang hampir saja menyentuh nadiku terlempar begitu saja, entah ke mana.

Aku menatapnya dengan tatapan tajam, "APA YANG LO LAKUIN?!!!"

"HARUSNYA LO YANG NGAPAIN?!" bentak San.

San menyingkirkan sisa-sisa serpihan kaca di sekitarku menggunakan kakinya. Kenapa sih laki-laki itu harus pulang, menggagalkan rencanaku saja.

Sementara itu, darah terus keluar dari permukaan kulitku. Memang tidak seberapa banyak, tapi sensasinya benar-benar membunuhku. Yah, aku menikmatinya.

San tiba-tiba mengangkat tubuhku dan membaringkannya di sofa. Laki-laki itu kembali dengan seperangkat alat pertolongan pertama dan mulai membersihkan luka sayatan di lenganku dengan telaten.

Rasanya aneh sekali ketika permukaan dingin dari kapas beralkohol tiba-tiba menyentuh kulitku. Aku tidak pernah terluka sehebat ini sebelumnya. Mataku agak terpejam saat San meneteskan obat merah dan membalut lukaku dengan kain kasa. Perih, tapi aku suka.

"Demi Tuhan, Sohye?! Lo goblok apa gak punya otak sih sampe mau bunuh diri gitu?!" seru San.

Aku hanya menatapnya datar, kemudian kembali membuang muka. Bawel, dasar bawel.

"Lo bener-bener gak bisa gue tinggal ya. Kita baru pulang dari gereja, kenapa lo bisa kepikiran begini sih ya Tuhan..." ucap San.

"Kalo gue mati sekarang, gue bisa lebih deket sama Tuhan. Kenapa lo harus dateng dan gagalin rencana gue?!!" balasku sama kerasnya dengan bentakan San.

"BUNUH DIRI BUKAN SATU-SATUNYA JALAN!!!" San menyeru dan membanting kotak obatnya ke atas meja, "Ada gue, Hye. Gue gak keberatan kalo lo butuh orang buat cerita, buat ikut pusing mikirin masalah lo. Gue selalu mau lo repotin, atau ada Pastor Lee kalo lo gak percaya sama gue. Jangan mikir pendek gini, gue gak suka."

Air mataku tiba-tiba kembali jatuh. Makhluk macam apa diriku ini, yang tidak menghargai pemberian Tuhan berupa kehidupan. Aku melupakan Tuhan, San, dan keluargaku lainnya.

"It's ok, nangis sampe lo tenang," ucap San. Ia merentangkan tangannya dan menarikku ke dalam pelukannya.

"Gue capek hidup kayak gini, San. Harusnya gue hidup tenang di kampung sama keluarga gue tanpa harus ketemu Seonghwa dan digoblokin bolak-balik kayak gini," ucapku di sela-sela tangisanku.

San membelai lembut rambutku dan menyenderkan kepalaku di bahunya. "Kalo lo gak ketemu Seonghwa, lo gak bakal ketemu gue. Kalo kita gak ketemu, mungkin gue juga bakal ngelakuin hal yang sama kayak yang hampir lo lakuin tadi," ucap San.

Aku terdiam, berharap San melanjutkan ucapannya.

"Semester awal gue masih bandel banget dan setelah gue kenal lo dan kita tiba-tiba deket, gue tiba-tiba dapet alasan buat terus hidup. Sounds weird, tapi lo adalah alesan gue untuk terus hidup saat itu," lanjut San.

"Jujur, gue goblok banget waktu itu. Gue sempet kepikiran untuk bikin lo cerai sama Seonghwa kalo aja Pastor Lee gak bawa gue balik ke kenyataan. Sama kayak lo, gue juga hampir bunuh diri denger nasihat Pastor Lee untuk memaafkan dan mengikhlaskan. Hampir, tapi akhirnya gue gak ngelakuin hal bodoh itu,"

Nafasku terasa tercekat. San tidak melantur, kan? Apakah aku salah mendengar?

"Sebelumnya gue minta lo jangan salah paham. Gue udah ngubur perasaan itu dalam-dalam. Sekarang gue di sini sebagai sahabat lo, orang yang dukung lo. Gue ngelakuin ini bukan semata-mata gue mau nikung Seonghwa atau apa namanya, gue di sini sebagai sahabat lo,"

Aku mengangkat kepalaku dan menatap mata hangat San. "Makasih, makasih banget," ucapku.

"It's ok." San meletakkan pipinya di puncak kepalaku, "Jangan nyalahin takdir Tuhan. Bertahan sedikit lagi, maka semua alasan kenapa lo berjuang selama ini akan terungkap. Kehidupan yang indah menanti lo, jangan sampe lo mati duluan sebelum ngerasain kehidupan yang indah itu."

Way Back Home ➖Seonghwa [ATEEZ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang