Part 9

16.1K 1.1K 8
                                    

Jericho membuka lemari dingin mini yang terdapat diruangannya, ia mengambil dua botol air mineral dingin. Satu botol diletakannya diatas meja lalu ia membuka satu botol yang masih ditangannya. Diberikannya kepada Hazel yang kini masih terdiam dengan wajah kalut.

Hazel mendongak ketika melihat Jericho yang menyodorkan air dingin untuknya. "Thanks." Hazel mengambilnya dan langsung meneguk air tersebut.

Jericho membuka miliknya dan melakukan hal yang sama. Untuk sementara mereka masih sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Aku akan membereskannya. Jangan khawatir."

Hazel melirik Jericho yang sedang berdiri bersender di meja kerjanya. Tatapannya menerawang keluar ke dinding kaca yang ada di ruangannya.

"Maafkan aku Jericho," lirih Hazel.

Jericho menatapnya, tatapannya langsung ke mata Hazel sehingga membuat wanita itu sedikit salah tingkah. "Kenapa kau minta maaf?"

"Seandainya aku tidak menarikmu pergi malam itu semua ini mungkin tidak akan terjadi."

Perlahan sudut bibir Jericho tertarik, pria itu menatap Hazel tak menyangka. Bagaimana ada wanita seperti dia? Jericho mendengus geli.

"Kenapa kau tertawa?"

Jericho menggeleng pelan, ia kemudian duduk di sofa sebelah Hazel. "Itu bukan salahmu," ujar Jericho pelan, ia malah penasaran, apa alasan Hazel sehingga perempuan itu berusaha menutupi Samuel dan Sarah yang sedang berpelukan darinya. Padahal bagaimanapun Jericho pasti akan mengetahui hal itu. Namun mengingat suasananya sedang seperti ini akhirnya Jericho mengurungkan niatnya.

"Aku sungguh sangat minta maaf karena menyeretmu lagi."

Jericho hanya tersenyum, ia lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Aku ke toilet dulu."

Jericho mengangguk. "Sebelah sana," ujarnya sambil menunjuk pintu berwarna putih yang ada di ruangannya.

Hazel membasahi wajahnya, ia menatap pantulan dirinya dari cermin besar yang ada di toilet ini. Ia menghela napasnya, tamatlah sudah sekarang, Hazel rasanya tidak siap bertemu orang-orang. Terutama keluarganya, Hazel merasa bersalah terhadap orang tuanya. Ia sudah merusak nama baik keluarganya, bagaimana jika orang tuanya melakukan hal diluar kendali Hazel?

Hazel dengan cepat menggelengkan kepalanya. Ia berbalik untuk keluar dari sana, namun ketika Hazel hendak membuka pintu terdengar suara seorang wanita yang membuatnya mengurungkan niat.

Sementara itu Jericho yang sedang menghubungi pengacaranya langsung teralih saat melihat seseorang yang memasuki ruangannya.

"Baik, terima kasih Mrs. Murs. Kalau begitu akan saya hubungi lagi nanti. Sampai jumpa." Jericho mengakhiri panggilannya, ia lalu beranjak berdiri saat melihat Sarah Winston yang sedang berdiri di hadapannya.

Sarah dengan wajah penuh dengan emosi melempar map yang ia bawa diatas meja.

"Tanda tangani itu," ujar Sarah dengan wajah dingin dan tatapan menusuk.

Jericho menghembuskan napas dalam, mengapa Sarah tak pernah lelah memaksa dirinya untuk melakukan hal yang takkan pernah ia lakukan? Seolah baru ingat bahwa Hazel masih berada di ruangannya Jericho langsung mengambil map tersebut.

"Kita bicarakan ini di rumah."

Sarah mendengus keras. "Aku sudah muak! Aku benar-benar tidak tahan denganmu! Ceraikan saja aku, Jericho!"

Jericho mengetatkan rahangnya, tangannya semakin erat memegang map yang berisi surat perceraian itu. Entah sudah berapa kali Sarah membawakan surat itu untuknya, namun sampai kapanpun Jericho tak akan menandatanganinya.

"Aku tidak bisa. Pulanglah Sarah, kita bahas ini di rumah," Jericho berusaha menahan emosinya.

"Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah mencintaimu sampai kapan pun! Dan juga kau sudah memiliki kekasih lain, untuk apa kau tetap mempertahankanku?!"

Jericho memejamkan matanya ia kembali menatap Sarah, kali ini tatapannya sangat lembut.

"Sarah, aku yakin kau tidak seperti orang lain yang mempercayai berita itu. Kau tahu aku hanya mencintaimu dari awal, kau sangat tahu akan hal itu."

Sarah berdecak, ia semakin kesal dibuatnya. "Kau juga tahu bahwa aku tidak pernah mencintaimu, jadi berhenti mempertahankanku dan berbahagialah dengan perempuan lain!"

Jericho terdiam, rasanya ia sudah sangat kebal mendengar kalimat penolakan dari Sarah. Sudah sejak tiga tahun lalu, dan Jericho masih belum berhasil membuat wanita itu membalas perasaannya. Jericho tidak pernah menyesal, semakin hari ia malah semakin bertekad agar Sarah bisa membalas cintanya. Egois? Entah siapa yang egois, yang pasti Jericho hanya berusaha mempertahankan apa yang ia miliki dan ia cintai. Jericho mengerti, Sarah hanya butuh waktu untuk menerimanya. Hanya saja waktu yang Sarah butuhkan adalah waktu yang panjang dan Jericho hanya perlu bersabar untuk itu.

Melihat respon Jericho yang hanya terdiam Sarah lalu menghembuskan napas lelah.
"Tanda tangani surat itu, aku tunggu kau di rumah," ujar Sarah lalu pergi meninggalkan Jericho yang masih mematung.

Sementara di toilet Hazel tak sengaja mendengar percakapan itu, dirinya terdiam lemas. Rasanya ia sangat takut untuk keluar. Bagaimana ia bisa bertemu dengan Jericho? Hazel tidak siap melihat lelaki itu, Jericho pasti sedang sangat terluka sekarang. Hazel tidak pernah tahu bahwa hubungan Jericho dan Sarah seperti ini. Ia pernah berada di posisi Jericho, saat dirinya mengemis cinta kepada Noah hingga lelaki itu malah memutuskan untuk menikahi perempuan lain. Hazel pernah merasakan sakitnya berada di posisi tersebut, bedanya hanya Jericho yang sudah menikah. Sakitnya pasti melebihi apa yang Hazel rasakan.

Akhirnya setelah lama berpikir dan memastikan bahwa Sarah sudah pergi dari ruangan itu Hazel memutuskan untuk keluar. Ia perlahan membuka dan menutup pintu, ia melihat Jericho yang masih berdiri terdiam sambil memegang map di tangannya.

Perlahan Jericho menatap dirinya, hingga membuat Hazel salah tingkah.

"Ma-maafkan aku.. aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian."

Jericho tersenyum tipis, lelaki itu melangkah untuk menyimpan surat perceraian itu di laci meja kerjanya.

"K-kau baik-baik saja?" Tanya Hazel.

Jericho mengangguk. "Aku yang harusnya minta maaf, tidak seharusnya kau mendengarkan pembicaraan itu."

Hazel terdiam, ia mengambil tas tangannya. "Jase sudah menjemputku, aku harus keluar."

"Tentu, sekretarisku akan mengantarmu lewat pintu khusus."

"Terima kasih ...."

Jericho hanya tersenyum.

"Em ... Jericho?"

Kedua alis Jericho terangkat. "Ya?"

"Aku pernah berada di posisimu. Aku harap kau bisa menemukan seseorang yang bisa lebih menghargai perasaanmu."

***

Selama perjalanan pulang Jase terus berbicara mengenai berita yang baru saja tersebar. Sementara itu ponsel Hazel maupun Jase terus berdering. Mereka tak memperdulikannya.

"Tenang saja Hazel, aku pastikan berita itu akan hilang dalam waktu satu hari."

Hazel masih terdiam menatap lurus jalanan di depannya.

"Hazel, kau baik-baik saja?"

Hazel mengerjapkan matanya. "Tidak."

Jase merapatkan bibirnya. "Haruskah aku membatalkan semua jadwalmu untuk beberapa hari?"

"Tidak."

"Hazel ...."

Hazel melirik Jase, dirinya masih terbawa suasana dengan kejadian di kantor Jericho. Ia masih memikirkan Jericho, ia juga bingung kenapa harus memperdulikan apa yang dialami Jericho. Padahal bisa saja ia melupakan kejadian itu, tapi rasanya perasaan khawatir terus muncul dibenaknya.

Mr. Wrong✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang