Part 46

12.4K 867 44
                                    

Hari-hari setelahnya berjalan seperti biasa, entah Jericho maupun Hazel kini sudah memiliki kehidupannya masing-masing. Keduanya seakan kembali seperti dulu, seakan mereka bukan dua orang yang saling mengenal lagi, seakan keduanya tidak memiliki kisah yang saling berkaitan.

Jericho pun perlahan mulai menerima keadaan, bagaimanapun ini yang ia inginkan, Jericho bukanlah pria yang bisa menjanjikan sesuatu kepada Hazel. Ia tidak cukup untuk wanita sesempurna Hazel. Meskipun kadang penyesalan muncul menggerogoti hari-harinya. Namun Jericho sadar, hidup harus berjalan entah itu dengan atau tanpa kehadiran Hazel. Keduanya hanya soal keadaan, dan keadaan membuat Jericho lagi-lagi harus belajar.
Bahwasannya level tertinggi mencintai adalah merelakan.

Jericho membereskan meja kerjanya, menumpuk dokumen-dokumen penting menjadi satu, kemudian memisahkan dokumen yang tidak ia butuhkan ke kardus yang ada di atas mejanya. Untuk sesaat ia terdiam, lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota di siang hari. Lalu-lalang kendaraan, hilir-mudik orang-orang di trotoar jalanan, dan masih banyak lagi. Jericho akan merindukan suasana kota ini dengan berbagai macam kenangannya.

Lamunan Jericho buyar kala mendengar suara pintu yang terbuka. Ia melihat Danver melangkah menghampirinya.

"Kau yakin akan pergi dari sini?" Tanyanya dengan wajah yang serius.

Jericho mengangguk sekali. "Ini pertama kalinya ayahku meminta bantuanku. Aku penasaran apa yang ia inginkan, lagian sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya," Ujarnya kembali mengemasi barang-barang penting di meja kantornya.

"Kau yakin? Lalu bagaimana perusahaan di sini?"

"Ada kau, kau bisa menggantikanku di sini," ujar Jericho dengan enteng.

Danver terperangah tak percaya. "Kau gila?!"

Mendengar itu Jericho terkekeh, sudah lama sekali mereka tidak berbicara sesantai ini. "Hey, kehilangan satu perusahaan tidak akan membuatku jatuh miskin. Kau tahu."

"Tapi tetap saja! Aku tidak bisa, tidak! Lebih tepatnya aku tidak siap."

Jericho meletakkan benda terakhir di kardusnya, ia lalu melangkah menghampiri Danver. Jericho menepuk bahu Danver, meletakkan tangannya di sana.

"Danver, kau harus percaya dengan kemampuanmu. Aku selalu mengawasimu selama ini, dan kau selalu mengalami peningkatan setiap waktunya. Kau memiliki kemauan belajar yang sangat kuat, kau juga pekerja keras. Ku rasa menyerahkan perusahaan kepadamu adalah keputusan yang tepat."

Tatapan Danver perlahan melunak, ia kehabisan kata-kata. Jericho memang selalu baik terhadapnya, bukan hanya dirinya namun juga keluarganya. Tanpa di duga Danver memeluk Jericho. Hal tersebut membuat Jericho tertawa. Meskipun begitu Jericho membalas pelukan Danver dengan tulus. Sampai mereka saling melepaskan pelukannya.

"Kurasa ucapan terima kasih dariku tidak akan cukup, Jericho. Kau tahu, aku selalu mendoakan kebahagiaanmu."

Jericho tersenyum sambil mengangguk. "Terima kasih untuk selama ini Danver, kau banyak membantu."

Danver membalas senyum Jericho. "Kapan kau akan berangkat?"

"Malam ini."

***

Suana mansion mewah bercat putih dengan arsitektur klasik terlihat sangat sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara air mancur yang terdapat di tengah-tengah halaman rumah tersebut. Sesekali suara burung yang berkicau juga mengisi keheningan di sana. Pemandangan halaman mansion tersebut serba hijau, ada banyak berbagai tanaman dan pepohonan di sana yang siap memanjakan mata. Sebuah mobil berhenti di depan mansion tersebut, terlihat dua orang pria keluar dari sana. Jericho dan seorang pria yang lebih tua darinya. Lelaki tua itu membuka bagasi mobil, mengambil satu koper besar dari sana. Bersamaan dengan itu pintu utama mansion itu terbuka membuat perhatian Jericho beralih ke sana.

"Selamat datang Jericho." Seorang wanita berumur 60-an muncul dengan senyum cerah.

"Halo Bibi Rose."

"Bagaimana perjalananmu?" Wanita itu menghampiri Jericho.

"Sangat melelahkan dan berkesan."

"Ayo, masuklah. Tuan Alan sudah menunggu di dalam. Biarkan George yang membawa kopermu."

Jericho menatap lelaki tua itu. "Aku tinggal ke dalam, Paman."

George terkekeh. "Masuklah, aku akan membawanya ke kamarmu."

Jericho tersenyum lebar, ia lalu beralih menatap Rose.

"Ayo," Ujar Rose sambil menggandeng Jericho mengajaknya masuk ke mansion.

Jericho melihat seorang lelaki tua yang duduk di kursi roda sedang bermain catur di halaman belakang, hanya seorang diri. Melihat itu Jericho melirik Rose.

"Beliau sering melakukan itu di jam-jam seperti ini."

Jericho menggeleng pelan. "Kasian sekali ayahku."

Rose terkikik pelan, wanita itu lalu melangkah ke depan lebih dekat. "Tuan, dia sudah datang."

Perlahan lelaki itu menoleh, di balik kacamatanya terlihat mata lelaki itu menyipit. Namanya Alan Winston, dia adalah ayah dari Jericho Winston.

Jericho menghampiri ayahnya, bibirnya membentuk senyum tipis. Sudah berapa tahun ia tidak menemuinya? Jericho bahkan lupa terakhir kali ia bertemu dengan Alan.

"Ku kira kau tidak akan datang," ujar Alan yang kini sudah berhadapan dengan Jericho.

"Aku hanya penasaran, ini pertama kalinya ayah memintaku untuk datang dan meminta bantuan padaku."

Alan menyeringai pelan. "Memangnya apa lagi yang pria tua ini inginkan jika bukan ditemani oleh anaknya di masa tuanya."

Jericho terkekeh pelan, ia lalu beranjak duduk di hadapan ayahnya sementara Rose sudah pergi meninggalkan mereka. Ia lalu memperhatikan papan catur di meja yang ada di hadapannya.

"Lawanmu hampir kalah."

"Itulah serunya bermain cartur sendiri. Kau bisa men-setting dirimu untuk menang."
Dahi Jericho mengerut. "Kau aneh, ayah."

Alan menghembuskan napasnya, ia mengambil benteng lalu menggeser ke samping. "Skakmat."

"Ayah, aku bahkan tidak bisa menyelamatkan rajanya. Ini sudah hampir kalah."

"Kalau begitu aku menang."

Jericho memutar matanya. "Kau memang sudah menang."

Melihat itu Alan terkekeh. "Aku penasaran, apa yang membuatmu akhirnya mau datang ke sini."

Jericho menyandarkan tubuhnya, Rose datang membawa dua cangkir teh dan sepiring kue.
"Aku baru saja membuat kue, kau harus mencobanya."

"Terima kasih, bibi."

Rose tersenyum kemudian kembali meninggalkan mereka. Rose dan George adalah pelayan di rumah ini. Sudah lama sekali keduanya bekerja di sini, dan bagi Alan maupun Jericho keduanya sudah seperti keluarga untuk mereka.

"Tidak ada. Aku hanya bosan dengan suasana di sana." Jericho mengambil cangkir tehnya lalu perlahan menyeruputnya.

"Benarkah? Tidak ada hubungannya dengan wanita?"

Jericho terdiam, ia merapatkan bibirnya sementara tangannya bergerak meletakkan cangkir di meja.

"Aku mengetahui semua tentang dirimu di sana, Jericho. Bahkan perceraianmu dengan Sarah."

"Urusanku dengan Sarah sudah selesai."

"Lalu bagaimana dengan yang lainnya?"

Jericho terkekeh. "Kata-kata ayah memberikan kesan seolah aku memiliki banyak perempuan di luar sana."

"Sudahlah Jericho, untuk urusan perempuan kita berdua memang sama-sama bodoh."

Kali ini Jericho tertawa, selama hidupnya Alan memang hanya pernah menikah sekali dan itu hanya dengan ibunya. Setelah ibunya pergi meninggalkan mereka, Alan tak pernah lagi dekat ataupun menjalin hubungan dengan Wanita lain.

"Setidaknya aku tidak ingin sendirian di masa tuaku nanti, seperti ayah."

Mr. Wrong✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang