Part 41

10.7K 783 32
                                    

Keesokan harinya, Samuel yang ditemani Manajernya datang ke kantor Jericho. Keduanya masih berada di dalam mobil yang terparkir di halaman depan kantor.
Louis yang duduk di bangku kemudi menatap Samuel penuh curiga. "Apa yang akan kau lakukan Sam?"

Samuel melepas sabuk pengamannya. "Aku hanya ingin menyapa seseorang."

"Kau pikir aku tidak tahu kau akan menemui siapa?"

Samuel lalu menatap Louis. "Baguslah kalau kau sudah tahu."

"Jangan cari masalah, Sam. Kau harus ingat siapa dirimu, jika kau melakukan sesuatu—"

"Ya, ya. Aku tahu." Potong Samuel yang sudah jengah dengan perkataan Louis yang sudah berulang kali ia katakan.

"Aku hanya mengingatkanmu."

Samuel menyunggingkan senyumnya. "Jangan khawatir." Kemudian lelaki itu keluar dari mobilnya.

Samuel melangkah masuk ke perusahaan Jericho, kedatangannya langsung menjadi pusat perhatian orang-orang yang sedang berlalu lalang di sana. Bahkan hampir semua kaum perempuan yang melihat Samuel tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
Samuel langsung menghampiri bagian resepsionis, awalnya agak sulit untuk menemui Jericho karena kedatangan Samuel memang tidak direncanakan dan tidak ada perjanjian antara Samuel dan Jericho. Namun setelah menghubungi sekretaris Jericho akhirnya Samuel dipersilahkan untuk pergi ke ruangan Jericho.

Samuel mendorong pintu ruangan Jericho tanpa permisi. Ia melihat Jericho yang sedang menunggunya duduk di atas sofa. Tatapan keduanya langsung bertemu, dan dengan gerakan cepat Samuel masuk lalu melayangkan tinju pada pipi mulus Jericho. Jericho hampir terjerembab ke sofa, namun dengan cepat lelaki itu menguasai dirinya. Lelaki itu memegang sudut bibirnya, terdapat sedikit bercak darah di sana.

"Kau layak mendapatkan itu."

Jericho mendengus keras, ia lalu berdiri menghadap Samuel. "Kau hanya datang untuk melakukan ini?"

"Tidak. Aku ingin memperingatkanmu."

Bibir Jericho merapat, matanya menatap Samuel lekat.

"Jangan pernah dekati Hazel lagi."

"Itu hakku."

Samuel mendengus sambil menyunggingkan senyumnya. "Kau sudah memiliki istri dan sebentar lagi akan menjadi ayah, jika kau tidak lupa."

Jericho terdiam, tangan kanannya mengepal.
"Jika kau berani mendekatinya lagi, kau akan terima akibatnya," Ujar Samuel kemudian berbalik hendak keluar dari ruangan Jericho.
Namun langkah Samuel terhenti ketika ia sudah sampai di depan pintu.

Samuel menoleh untuk menatap Jericho. "Tadinya aku sempat berpikir akan melepas Hazel untuk dirimu. Namun setelah mengetahui semua ini, tidak akan lagi. Aku tidak akan membiarkannya jatuh ke tanganmu lagi." Lalu Samuel membuka pintu ruangan dan melangkah keluar meninggalkan Jericho yang masih mematung di tempatnya.

Jericho menengadahkan kepalanya sambil menghirup napasnya, lelaki itu kemudian menunduk menatap lantai ruangannya yang dilapisi karpet berwarna cokelat. Ia lalu mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi Danver.

"Bisa datang ke ruanganku?"

***

Langkah kaki Hazel bergerak dengan cepat melewati lorong kantor yang sudah sepi. Hanya ada beberapa pekerja saja yang masih tersisa, sorot mata perempuan itu terlihat begitu dingin dan sangat kelelahan. Siapapun yang melihatnya mungkin memilih untuk menghindarinya. Hingga Hazel melewati meja sekretaris Jericho yang berada di hadapan ruang kerja Jericho.

"Selamat malam Ms. Kneiling ada yang bisa saya bantu?"

Hazel menghentikan langkahnya. "Apakah Mr. Winston ada di dalam?"

Sekretaris itu mengangguk, tanpa menunggu respon darinya Hazel langsung melangkah masuk. Terlihat Jericho yang hendak memakai jas abu-abunya. Gerakan lelaki itu terhenti bersamaan dengan Hazel yang kini sudah berada di ambang pintu.

Hazel melangkah masuk sementara Jericho kembali memakai jasnya. Ia berhenti di depan meja kerja Jericho sehingga keduanya kini saling berhadapan.

"Ada apa Hazel?"

Dahi Hazel mengerut. "Apa yang terjadi dengan wajahmu?"

Reflek satu alis Jericho terangkat, lelaki itu lalu membuka bibirnya namun tak ada kata yang terucap darinya.

"Kau berkelahi?"

Jericho menggeleng. "Tidak, hanya ada masalah kecil siang tadi."

Hazel menahan decakannya. Lelaki itu tak pandai berbohong, sudah jelas seseorang telah memukulnya. Namun Hazel berusaha mengesampingkan hal tersebut, ada yang lebih penting dari itu.

"Kau ingin berbicara sesuatu?"

Hazel mengeratkan pegangannya pada tas yang ia bawa di tangan kanannya.

"Aku ingin memastikan sesuatu," ujar Hazel menatap Jericho lekat.

Jericho terdiam seolah menunggu Hazel melanjutkan ucapannya.

"Kau sungguh-sungguh tidak akan melarang pernikahanku dengan Samuel?"

Leher Jericho menegang, tenggorokannya terasa tercekat. Tubuhnya seolah tidak tau harus memberikan respon apa. Ia membeku sementara pikirannya berkecamuk.

"Karena jika kau melarangku aku tidak akan melakukannya, Jericho. Sungguh." Suara Hazel sedikit bergetar sementara kerongkongannya terasa sangat sesak.

Sorot mata Jericho sedikit meredup, sementara tangan kanannya yang berada di garis celananya mengepal erat.

"Kumohon katakan saja tidak Jericho ...." Suara Hazel semakin rendah bercampur dengan rasa sesaknya.

Jericho mengalihkan tatapannya ke arah lain, matanya terasa sangat panas melihat Hazel seperti itu berdiri di hadapannya. Ia kembali menatap Hazel dengan mata yang berkaca-kaca.

"Hazel, maafkan aku..."

Air mata Hazel tak bisa dibendung lagi sehingga menetes begitu saja, sementara raut wajahnya masih memasang ekspresi datar tak terbaca, tatapan matanya kosong namun siapapun bisa melihat ada luka yang sangat dalam di sana. Hazel menelan salivanya, ia lalu menghirup napas cukup dalam. Perempuan itu mengangguk samar.

"Aku mengerti," suaranya masih terdengar rendah. "Kalau begitu." ia mengusap sisa air matanya yang masih ada di pipi. "Terima kasih dan selamat tinggal."

Waktu seolah berjalan begitu lambat, Hazel membalikkan tubuhnya, tak bisa menahan lagi tangisnya. Sambil melangkah cepat meninggalkan ruangan Jericho, Hazel menahan isakkannya. Dengan tatapan hampa Jericho menatap pintu yang sudah tertutup. Tubuh lelaki itu kemudian lemas, kakinya seolah kehilangan pijakannya. Rasanya sebentar lagi ia akan runtuh. Jericho memaku kedua tangannya diatas meja. Ia menunduk dalam, manahan agar tidak berteriak kencang sementara ia melampiaskan emosinya dengan mengepalkan kedua tangannya.

Mr. Wrong✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang