Part 44

11.4K 824 19
                                    

Hazel menatap pantulan dirinya di depan cermin, tatapannya kosong seolah dirinya yang sebenarnya tidak berada di sana. Pikiran Hazel melayang jauh entah kemana, batinnya berkecamuk seolah meminta Hazel untuk pergi dari sana namun tubuhnya menolak. Tubuhnya yang sudah dibalut dengan gaun pernikahan berwarna putih gading itu tidak mau bergerak. Seolah sesuatu menahan dirinya agar tetap bertahan di sana. Mata Hazel berkedip kala mendengar suara pintu terbuka. Lewat kaca di depannya ia melihat Zoe, ibunya dan Alexis, kakak iparnya melangkah memasuki kamarnya.

Zoe tersenyum melihat Hazel yang sedang duduk menatap dirinya di depan cermin. Wanita itu lalu berdiri di samping kanan Hazel, ia memegang bahu Hazel yang terbuka. "Kau baik-baik saja?"

Hazel menoleh ke arah ibunya, ia berusaha tersenyum sambil menganggukan kepala. "Ya mom ...."

Zoe terdiam memperhatikan raut wajah Hazel, matanya berubah menjadi sedikit sayu. "Jika kau tidak–"

"Tidak mom. Ini keputusanku."

Zoe menelan salivanya, ia menahan air matanya agar tidak menetes membasahi pipinya.

Melihat ibunya membuat Hazel berkaca-kaca.
"Hey... jangan menangis, kau bisa membuatku menangis juga, riasan wajahku nanti akan rusak," Ujar Hazel dengan nada candaan sementara suaranya serak tercekat.

Alexis yang berada disamping kiri Hazel mengelus bahu Hazel lalu menatap Zoe. "Semuanya pasti akan baik-baik saja," Ujar Alexis membuat Hazel menoleh dan tersenyum lebar.

"Terima kasih Alexis ...." tangan Hazel terulur untuk memegang tangan Alexis seolah meminta kekuatan kepadanya.

Alexis langsung menyambut tangan Hazel, senyum wanita itu semakin lebar.

"Apa yang dilakukan para wanita di sini?"
Mereka langsung menoleh saat mendengar suara laki-laki di belakang mereka. Terlihat Darrel, kakak Hazel berdiri di sana.

"Ya Tuhan... adikku terlihat sangat cantik hari ini."

Hazel tersenyum sambil menatap Darrel kesal. "Aku selalu terlihat cantik setiap hari, kau tahu."

Mendengar itu Darrel tertawa. "Ya, ya, ya... terserahmu. Untuk hari ini aku akan bersikap baik dan menjadi pelayanmu, Princess."

Hazel tergelak. "Sialan kau!"

"Apakah Hazel sudah siap?"

Mata orang-orang di ruangan itu langsung beralih pada Marius yang tiba-tiba muncul. Tatapan Hazel langsung terpaku pada ayahnya, sementara Marius melihat putrinya seolah terpana. Putri kecilnya kini sudah menjadi sosok dewasa yang sangat cantik dan sebentar lagi akan dilepasnya.

Zoe yang melihat suaminya tersenyum, ia menatap Darrel dan Alexis "Ayo kita tunggu di luar," ujarnya sekaligus ingin memberikan ruang kepada suami dan anaknya.

Saat tersisa hanya ada Dirinya dan Hazel, Marius menghampiri anaknya lebih dekat. Lelaki yang kini sudah tidak muda lagi menatap anak perempuannya dengan penuh kasih sayang.

"Rasanya baru kemarin aku melihatmu masih berlarian dan bermain bersama Darrel."

"Dad... jangan membuatku menangis." Ucapan Hazel membuat Marius tertawa pelan, lelaki itu kemudian mengambil kedua tangan Hazel untuk digenggamnya.

"Aku sangat menyayangimu Hazel."

"Aku juga.. aku juga menyayangimu dad..."
Marius lalu memeluk Hazel untuk beberapa saat lalu ia melepaskannya untuk menatap Hazel.

"Kau siap?"

"Ya..."

***

"Danver, bisakah lebih cepat?!"

"Berhenti mengatakan itu berkali-kali, aku sedang berusaha Jericho," Ujar Danver yang sedang fokus menyetir.

Sementara itu Jericho sedang duduk gelisah di bangku penumpang. Lelaki itu berkali-kali melihat jam di tangannya. Matanya menatap jalanan dengan kalut.

"Kau yakin kita bisa sampai di sana tepat waktu?"

"Semoga saja."

"Astaga Danver, rasanya jantungku ingin meledak."

"Jangan meledak, kau bisa mati."

"Sialan! Ini bukan saatnya bercanda Danver."

"Bisakah kau diam dan biarkan aku fokus menyetir, Tuan?"

Jericho mendengus panjang, lelaki itu akhirnya memilih untuk diam sementara dadanya berdebar tidak karuan. Matanya sedikit memicing ketika dari kejauhan melihat traffic light yang berubah menjadi warna merah, Jericho mengepalkan tangannya. Batinnya memaki kesal, mengapa hal ini terjadi disaat genting seperti ini? Ia kembali bisa bernapas lega ketika mobilnya sudah kembali melaju. Hingga kemudian mobilnya berhenti di sebuah parkiran yang sudah dipadati oleh kendaraan, tanpa menunggu Danver, Jericho langsung melesat keluar berlari cepat sementara satu tangannya membawa undangan.

Dari luar gedung tersebut suasana sudah sepi, ia semakin mempercepat langkahnya memasuki gedung tersebut. Matanya bergerak mencari jalan sampai ia menemukan lorong yang sudah dihiasi dekorasi bunga berwarna putih. Jericho berlari ke arah sana, namun ia dihadapkan dengan pintu besar yang dijaga oleh dua orang pria berjas hitam. Langkah Jericho langsung terhenti, ia mengangkat tangannya menunjukkan kertas undangan kepada mereka. Salah satu dari penjaga itu kemudian membukakan pintu untuk Jericho. Ia melesat masuk, pintu kembali tertutup dan bersamaan dengan itu langkah Jericho terhenti.

Di sana, tepatnya di altar yang ada di hadapannya ia melihat Samuel yang sedang mencium Hazel.

Jericho melihat pemandangan tersebut dengan tatapan kosong, mendadak dadanya terasa sesak, terlebih napasnya terengah karena ia berlarian tadi. Suara riuh tepuk tangan mengembalikan kesadarannya. Jericho mengedipkan matanya, lelaki itu menelan salivanya yang terasa sangat berat. Ia mengalihkan tatapannya ke bawah lalu melirik undangan yang ia bawa, undangan tersebut sudah lusuh karena tanpa sadar ia memegangnya terlalu erat.

Bukankah semuanya sudah terlambat?

Mr. Wrong✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang